The Story
of a Local Guide pt 1
Sudah lebih dari 6 bulan sejak saya bekerja di industry
pariwisata. Dalam kurun waktu 6 bulan itu saya sudah mengalamai banyak hal yang
bikin seneng, sedih dan campur sari. Nggak hanya bersumber dari orang-orang
yang saya temui, tapi juga atasan yang harus dihormati.
Adalah sebuh artikel di mbdc.com yang menginspirasi saya
menulis ini.
Sebagai seorang local guide saya bertugas memberikan panduan
dan informasi kepada setiap pengunjung yang berkunjung di areal kerja saya.
Dengan rata-rata jumlah pengunjung harian 300-an orang (ini masih kecilll),
saya makin dibuat terkagum-kagum dengan karakter makhluk ciptaan Tuhan.
Ada berbagai jenis guide di dunia pariwisata. Salah satunya
adalah payroll guide. Saya bekerja sebagai payroll guide. Artinya saya digaji
setiap bulan. Dalam bekerja, saya menawarkan jasa tanpa meminta imbalan apa
pun. Tapi kalo dikasih tips, masa ditolak. Dan mungkin karena payroll guide
kurang lazim dalam dunia pariwisata Indonesia, setiap orang yang berkunjung ke
tempat kerja selalu menghindar kalau ditawarkan panduan. Hal ini sering membuat
kami kewalahan dalam menjelaskan. Mereka tetap takut untuk ditemani karena
curiga ujung-ujungnya kami minta duit dalam bentuk tips. Tapi banyak juga wisatawan yang paham dunia
kerja kami. Jika kami tawarkan jasa mereka ada yang langsung bertanya tarifnya
berapa. Begitu kami jelaskan gratis, mereka biasanya akan bilang “OK”. Endingnya biasanya akan tetep dikasih tips,
kadang juga enggak karena mereka berpikir adalah hal terlarang bagi kami untuk
menerima tips. Bagi kami sih nggak masalah. Cukup dengan mengucapkan terima
kasih, kami sudah senang kok. Ada juga wisatawan yang malah nanyain, “is it
Okay if I give you tips? I really want to, you gave us such a great
information”. Ini yang bingung menjawabnya apa. Siapa sih yang nolak dikasih
uang? Kalau ini bisanya saya cuman cengengesan dan bilang, “Aww, you’re so
nice”.
Dalam perkembangannya saya dan kawan-kawan juga
mengembangkan sikap-sikap yang menghindari kesalahpahaman. Salah satunya tidak
mengulurkan tangan kepada tamu saat sesi sudah berakhir. Awalnya saya selalu
mengulurkan tangan ngajak salaman tamu. Tapi sering muncul reaksi yang kurang
enak, karena mereka salah paham dan menganggap saya mintak disalam tempelin.
Endingnya, saya dan teman-teman tidak pernah lagi megulurkan tangan duluan
ngajak salaman tamu. Kami akan mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan
tanpa perlu hand-shake. Cukup mengatupkan kedua tangan di dada.
Usut punya usut, setelah nanya sana sini, interview dengan
tour leader, driver, dan wisatawan itu sendiri, saya jadi mendapat gambaran
gimana industry pariwisata Indonesia. Pungli memang sangat marak. Hal ini
membuat wisatawan takut dan trauma kalau sudah berhadapan dengan para pramu
wisata. Tulisan saya ini bukan untuk nge-judge, tapi mari kita belajar bersama
dan kalau ada masukan dan kritikan saya siap menerima.
Permasalahan ini, nggak bisa kita bebankan sepenuhnya kepada pemerintah.
Sedikit banyak, adalah masyarakat di sekitar objek wisata turut berpartisipasi
dalam membangun citra pariwisata Indonesia di mata pengunjung, baik itu local mau
pun internasional. Memang sudah seharusnya, industry pariwisata tidak hanya
memberikan profit pada pengelola , entah itu pemerintah atau swasta, tapi juga
kepada masyarakat dilingkungannya. Akan tetapi terkadang ada golongan
masyarakat yang sepertinya belum siap untuk dibenahi dan diarahkan untuk
menjadi pelaku wisata yang berderajat. Sebagian dari mereka suka jalan pintas
dan berujung-ujung pada perilaku bejat. Pungli contohnya.
Ini tentunya
merugikan tidak hanya pengelola, tapi juga masyarakat itu sendiri. Mindset para
oknum ini adalah “Mereka hanya datang sekali”. Jadi halal banget kalau mau
memorotin si pengunjung dan mintak imbalan ini itu di luar batas kewajaran. Sementara
pengelola punya visi untuk mengembangkan objek wisata agar mendunia dan
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan agar menambah pemasukan. Ini tentu
nggak sejalan. Selain itu seringkali juga oknum sok kepinteran dengan
beranggapan wisatawan sudah maklum dengan pungli dan tipu-tipu harga. Ini
tentunya juga bikin geleng-geleng kepala. Dan ujung-ujungnya, the power of
media berbicara. Seperti kejadian di Objek Wisata Jam Gadang Bukittinggi.
Badut-badut yang semakin meresahkan pada akhirnya kena batunya. Link beritanya
ada disni. Nah, kalau sudah begini gimana dong? Ulah oknum ini malah memberi aib bagi
masyarakat wisata secara keseluruhan.
Contoh lainnya datang dari teman saya yang berkunjung ke
Lobang Jepang Bukittinggi. Saya belum pernah mengalami sih (karena saat masuk lobang Jepang lagi peak season, kami cuman masuk sebentar saja, saya juga sulit bernapas di dalamnya), tapi dapat cerita
dari teman dan beberapa pengunjung yang mengaku mendapat ‘tagihan’ berlebihan
dari pemandu. Saya kurang tahu apakah pemandu di Lobang Jepang adalah langsung
dibawah Pemerintah Daerah seperti kami.
Tapi kalau status mereka adalah freelance guide, yah mungkin itu hak
mereka menentukan tarif. Karena dari
sana lah mereka menghasilkan uang. Tiket masuk yang hanya Rp 5000 tentunya
tidak sebanding dengan tugas guide yang akan memandu mereka menelusuri lobang
jepang hingga ke Ngarai di bawahnya. Saya denger sih sampe 1 KM lebih. Salah satu cerita yang saya dapat adalah Disini . Kalau dari artikel ini, saya rasa semuanya ada ditangan pengunjung. kalau bersedia tinggal bayar, kalau tidak ya tolak saja. Jangan pakai jasa guide.
Saya sebagai local guide juga kebagian anggapan buruk
jadinya. Karena dapat kesan negative ketika berwisata di sebuah objek wisata,
wisatawan jadi mengeneralisir siatuasi dan kondisi pariwisata dimana-mana di
Indonesia sama. Tapi yah, mungkin itu sudah nasib kami kali ya. Yang lurus yah
harus tetap lurus, dan yang menyimpang mudah-mudahan diluruskan segera oleh
pemerintah dan juga mudah-mudahan masyarakat semakin sadar akan nilai dan
peranan penting pariwisata. Tidak hanya memikirkan bagaimana sekarang, tapi
juga kelangsungannya di masa depan.
*Bersambung*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar