kota kelahiran saya, Batusangkar, bukanlah kota yang sophisticated. Hanya sebuah kota kecil di dataran tinggi Sumatera Barat yang berudara sejuk dan berpenduduk konservatif. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Sisanya adalah pedagang, pegawai di lembaga pemerintahan dan wiraswasta. Hanya sedikit perusahaan swasta di sini, itu pun baru mulai tumbuh dan berkembang beberapa tahun belakangan. Home Industries juga ada, lumayan lah. Mereka biasanya memproduksi kue dan penganan tradisional khas Ranah Minang.
Dahulu sekali, ketika saya masih berstatus mahasiswi, pulang kampung adalah hal yang menyenangkan sekaligus meresahkan. Apa pasal? Saya senang bisa temu kangen keluarga. Berleha-leha di rumah menggemukkan badan dengan asupan makanan melimpah bikinan emak saya, namun saya bingung dan kecewa ketika harus keluar rumah. Tidak ada tempat asyik untuk dituju. Oke, ada beberapa tempat wisata, tapi yang ingin saya lakukan hanyalah bertemu kawan lama untuk duduk dan berbagi cerita. Makan dan minum nomer dua. Idealnya, tempat yang kami cari adalah seperti cafe-cafe di kota tempat kami kuliah, tapi apa daya, di Batusangkar hanya ada kafe yang menawarkan cappucino sachetan dan menu makanan yang melulu nasi goreng, mie goreng dan mie rebus.
Ketika memutuskan kembali ke kampung halaman akhir 2013 silam, saya sempat ragu. Bisakah saya kembali terbiasa dengan sunyi senyapnya kota kelahiran saya. Selama hampir tujuh tahun tinggal di Medan, saya cukup menikmati dinamisnya kota multikultural tersebut. Kumpul dengan teman, ketemu dengan anak komunitas, ketemu dengan calon klien, semuanya rata-rata dilakukan di kafe-kafe yang ada di kota Medan. Saya yang tidak terlalu suka kopi pelan-pelan mulai terpengaruh, mulai suka icip-icip kopi.
Tiga tahun sudah saya kembali ke kota kelahiran saya. Dan saya tidak menyesal sama sekali. Kota kecil ini semakin berkembang. Jika di tahun 2013 saya dilanda kebosanan maha dahsyat karena enggak punya teman nongkrong dan ga ada tempat nongkrong, sekarang no worry. Kota ini semakin bergairah. Di tahun 2015 saya mendengar kabar akan didirikan sebuah hotel bintang 4. Tidak lama setelah itu muncul sebuah coffee shop, a real coffee shop with espresso machine and a barista in town, Kedai Kopi Mindoet. Lalu the rest is history. Fast forward ke tahun 2017 akhir, ada beberapa coffee shop dan kafe dengan konsep yang oke di Batusangkar. Layanan delivery order juga hadir memenuhi gaya hidup masyarakat yang makin kekinian. My town looks more vibrant and dynamic. I love it!
Salah satu yang menjadi favorit saya di Batusangkar kekinian adalah Mato Aia Coffe. Sebuah coffe truck yang mangkal nyaris tiap malam di depan lapangan Cindua Mato, di seberang Gedung Maharao Dirajo (Gedung Nasional). Uda Jefri, sang pemilik coffe truck merangkap barista, sudah merintis usaha ini sejak 29 September 2017. Yup, masih baru banget.
Uda yang sehari-hari bekerja sebagai back office di sebuah Bank ini sudah merancang coffee truck-nya semenjak bulan Ramadhan 2017. Akhirnya setelah melalui berbagai diskusi dengan koleganya yang ahli kopi dan menonton berbagai video tutorial, beliau akhirnya memantapkan diri untuk membuka Mato Aia Coffee. Di awal buka, Uda Jefri masih harus berjuang ekstra untuk memperkenalkan ragam dan rupa mengolah kopi modern kepada masyarakat yang sebagian besar menikmati kopinya di warung-warung dengan satu kalimat, "kopi satangah, ni."
Pelan tapi pasti sepertinya Mato Aia mulai punya pelanggan tetap. Saya bahkan pernah bertemu dengan siswa saya di tempat les jajan di Mato Aia. Bocah kelas enam SD yang berpipi chubby itu rupanya senang memesan minuman coklat di Mato Aia. Yup, Mato Aia juga menyediakan varian green tea dan coklat bagi yang bukan penikmat kopi. Jadi, yang doyan jajan disini bukan yang doyan kopi aja ya. Mulai dari bocah sekolah dasar hingga Atuk-Atuk bisa menikmati aneka menu yang ditawarkan disini, coffee truck pertama di kota Batusangkar.
Tiga tahun sudah saya kembali ke kota kelahiran saya. Dan saya tidak menyesal sama sekali. Kota kecil ini semakin berkembang. Jika di tahun 2013 saya dilanda kebosanan maha dahsyat karena enggak punya teman nongkrong dan ga ada tempat nongkrong, sekarang no worry. Kota ini semakin bergairah. Di tahun 2015 saya mendengar kabar akan didirikan sebuah hotel bintang 4. Tidak lama setelah itu muncul sebuah coffee shop, a real coffee shop with espresso machine and a barista in town, Kedai Kopi Mindoet. Lalu the rest is history. Fast forward ke tahun 2017 akhir, ada beberapa coffee shop dan kafe dengan konsep yang oke di Batusangkar. Layanan delivery order juga hadir memenuhi gaya hidup masyarakat yang makin kekinian. My town looks more vibrant and dynamic. I love it!
Salah satu yang menjadi favorit saya di Batusangkar kekinian adalah Mato Aia Coffe. Sebuah coffe truck yang mangkal nyaris tiap malam di depan lapangan Cindua Mato, di seberang Gedung Maharao Dirajo (Gedung Nasional). Uda Jefri, sang pemilik coffe truck merangkap barista, sudah merintis usaha ini sejak 29 September 2017. Yup, masih baru banget.
Uda yang sehari-hari bekerja sebagai back office di sebuah Bank ini sudah merancang coffee truck-nya semenjak bulan Ramadhan 2017. Akhirnya setelah melalui berbagai diskusi dengan koleganya yang ahli kopi dan menonton berbagai video tutorial, beliau akhirnya memantapkan diri untuk membuka Mato Aia Coffee. Di awal buka, Uda Jefri masih harus berjuang ekstra untuk memperkenalkan ragam dan rupa mengolah kopi modern kepada masyarakat yang sebagian besar menikmati kopinya di warung-warung dengan satu kalimat, "kopi satangah, ni."
Pelan tapi pasti sepertinya Mato Aia mulai punya pelanggan tetap. Saya bahkan pernah bertemu dengan siswa saya di tempat les jajan di Mato Aia. Bocah kelas enam SD yang berpipi chubby itu rupanya senang memesan minuman coklat di Mato Aia. Yup, Mato Aia juga menyediakan varian green tea dan coklat bagi yang bukan penikmat kopi. Jadi, yang doyan jajan disini bukan yang doyan kopi aja ya. Mulai dari bocah sekolah dasar hingga Atuk-Atuk bisa menikmati aneka menu yang ditawarkan disini, coffee truck pertama di kota Batusangkar.
And, my first purchase in this coffee
truck is a green tea latte, LoL. Just like i wrote in my previous posts, i am
not a big fan of coffee. But i love coffee shop so much. It smells creativity. Dan demikianlah, jajan green tea latte
dan sesekali caramel macchiato menemani saya menggambar berbagai tema selama
inktober 2017.
Kalau kalian sedang berada di Batusangkar,
mampirlah ke Lapangan Cindua Mato. Cari saja mobil carry berwarna
merah dengan tulisan Mato Aia Coffee. Coffee Truck ini
biasanya mulai beroperasi setelah jam tujuh malam. Sebenarnya lebih asyik kalau
Mato Aia buka lebih awal. Sore-sore di pusat kota paling asyik menikmati senja
sambil menonton ratusan atau mungkin ribuan burung bermanuver di langit kota
untuk kemudian hinggap dan bermalam di pohon beringin tua dan pohon asam jawa
di pinggir Lapangan Cindua Mato. Burung-burung tersebut ada yang
berjenis kuntul kecil (Egretta garzetta) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) lho, dan kedua jenis ini termasuk satwa yang
dilindungi. Kawasan pohon beringin tua tempat mereka bersarang merupakan situs
cagar alam yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun
1926. Ini menjadikan kawasan Cagar Alam Beringin menjadi salah satu tempat yang harus kamu kunjungi kalau berlibur di kota Batusangkar ya.
Terima kasih wilma, sudah mempromosikan Mato Aia Coffee. Semoga Melalui Mato Aia Coffee kita semua diberi keberkahan seperti mata air dan diberikan izin mengenali pemilik keberkahan.
BalasHapusTarima kasih atas banyak masukan nya disetiap kesempatan mampir di Mato Aia Coffee