Sabtu, 14 September 2013

London ; A city, Rain and Love stories


Lucky I'm in Love with my best friend
Lucky to have been where i have been
Lucky to be comin' home again


What if, kamu jatuh cinta sama sahabat kamu, memendam perasaan itu bertahun-tahun lamanya, Takut akan merusak persahabatan sehingga kamu memilih diam, lalu pujaan hati kamu memutuskan untuk mengejar impiannya di negeri yang jaraknya tidak dekat, dan kamu akhirnya sampai di satu titik dimana kamu harus memutuskan menyampaikan (perasaan kamu) atau tidak sama sekali (Hatimu remuk dan persahabatan kalian tetap terjaga).

London, novel karya Windry Ramadhina ini bukan sebuah kisah cinta, tapi beberapa kisah cinta. Ada Gilang si tokoh utama yang terbang 21 jam lamanya untuk menemui pujaan hatinya, sahabat masa kecilnya Ning, yang mengejar mimpinya di negeri Ratu Elizabeth. Tanpa perencanaan. Hanya dorongan yang sangat kuat dan nasehat-nasehat dari sahabatnya yang menjadi bekal. Setelah melalui penerbangan dengan transit sekali di Hongkong, dimana ia bertemu seorang pria yang diberinya 'nama' V, Gilang membawa sejuta harapan di depan rumah Ning di Fitzrovia. Tapi Ning tidak ada disana. Ia pergi. Bukan Ning yang menerima kejutan dari Gilang. Adalah Gilang yang terkejut menemukan pujaan hatinya.


Ning tidak akan pergi lama, begitu prediksi perempuan tua yang tinggal di sebelah rumah Ning. Dia akan kembali dalam satu atau dua hari. Berharap apa yang diucapkan oleh perempuan tua itu benar Gilang memutuskan untuk menunggu sebelum hari ke 5 dimana dia harus kembali pulang ke Jakarta. 

Penginapan bernama Madge menjadi tempatnya berlabuh sementara. Sambil merindukan senyum Ning tokoh utama ini terlibat dalam kisah cinta dalam potongan roman di buku-buku tua, payung merah dan seni kontemporer. Gilang bertemu dengan Madam Ellis pemilik penginapan, Ed pelayan keturunan Hindustan, Lowesly tua pemilik Dickens and More, Ayu gadis Indonesia yang memburu karya sastra klasik cetakan pertama dan karakter-karakter yang tak bernama namun 'dinamai' oleh Gilang sesuai dengan kemiripan karakternya dengan tokoh-tokoh dalam karya sastra.

Adalah Goldilocks, seorang gadis yang hadir begitu saja dihadapannya dan memaksanya menaiki London Eye padahal ia membenci ketinggian, menjadikan hari-hari penantian singkat Gilang berarti. Tidak, Goldilocks tidak menemani Gilang menunggu kedatangan Ning. Ia hanya muncul saat hujan turun. Sebuah payung merah miliknya lah yang menemani Gilang menjadi saksi kisah cinta Madam Ellis, V dan terakhir Ning yang didambakannya. Kehadiran Goldilocks selalu membuat Gilang penasaran. Goldilocks membuatnya 'ketagihan' dan ia selalu mengejar sosok gadis itu kapan pun hujan turun di London. 

Pada akhirnya Ning mucul. 2 hari menjelang kepulanganya ke Jakarta. Dalam waktu yang sangat singkat Gilang berusaha agar Ning memahami maksud kedatangannya ke London. Bahwa ia bukan sekedar sedang berwisata, ia dalam misi menaklukkan hati seorang wanita. Hanya saja status mereka sebagai sahabat dari masa kanak-kanak tidak membuat segalanya mudah. Persahabatan mereka menjadi taruhannya. Dan bukan Ning hidup tanpa cinta, Sudah 4 musim ia tidak memiliki pria dalam hidupnya. Cintanya kandas dengan sosok pria lain yang Gilang tidak tahu.

Kehadiran sosok Seniman muda tampan yang dijuluki Gilang Finnegan nyaris merobohkan pertahanan Gilang. Ada yang berbeda dari cara Ning menatap pria itu.  Karya Finn mungkin indah dan mengundang decak kagum kurator, tidak hanya Ning, tapi Ning jelas lebih dari sekedar mengagumi karya Finn. Gadis itu memuja Finn dan memendam rasa terhadapnya.

... 

Novel ini memiliki alur maju mundur. Cerita dimulai saat Gilang di hari terakhirnya di London mengenang awal mula kedatangannya untuk mengejar cinta Ning. Cerita kemudian berpindah ke sebuah Pub bernama Bureau dimana Gilang dan empat sahabatnya yang entah siapa nama aslinya  dan Ia yang tengah mabuk meneriakkan keinginannya untuk mengejar Ning ke London. Cerita mundur lagi ke beberapa jam sebelum kejadian itu. Setelah itu mundur lagi ke beberapa jam di kamar Gilang dimana ia sedang web-cam-an dengan Ning. Seiring dengan berjalannya cerita Windry banyak memasukkan adegan flashback karakter utamanya mengenang kebersamaannya dengan Ning.

Gilang adalah Tokoh utama cowok ketiga dalam novel Windry. Windry lagi doyan tokoh utama cowok sepertinya. Setelah Bram di Metropolis lalu Rayi di Montase sekarang giliran Gilang. Kadang saya ragu dengan kemampuan perempuan mereka karakter pria. Akan seperti apa jadinya perempuan bercerita dari sudut pandang pria. I mean, she's a woman. Bagaimana dia bisa mewakili suara pria sesungguhnya. Dan dari apa yang saya baca selama ini tokoh penulis perempuan yang bercerita lewat sudut pandang tokoh utama pria tidak begitu mengesankan. kurang 'LAKI' menurut saya. Terlalu mereka-reka. Apalagi jika mereka menulis genre roman. Alhasil tokoh utama cowok rekaan mereka jatuh ke jurang sensitifitas berlebih, terlalu 'berbunga-bunga', dan membingungkan saya.

Tapi tokoh cowok Windry beda. Tokoh Gilang entah mengapa terasa real dan saya ikut hanyut dalam perasaannya yang agak mendayu-dayu hehe. Dari awal Windry sudah menciptakan nuansa melankolis pada karakternya ini. Sosok Gilang sebagai penulis roman yang cintanya bertepuk sebelah tangan ini menjadi karakter favorit saya dari semua tokoh imajiner Windry lainnya (Sorry Faye, Gilang menang kali ini).Gilang membawa saya dalam emosinya yang turun naik. Perjuangannya untuk menyatakan cinta sampai ke London yang selalu diguyur hujan membuat saya sesekali tersenyum dan menahan napas. 

Novel Windry sebelumnya, Montase, sedikit mengecewakan bagi saya. Tapi London membayarnya dengan baik. Saya menemukan arsitekur kisah khas Windry lagi.  Novel ini padat dan cepat. Walau banyak tokoh sampingannya tapi novel ini tidak melebar kemana-mana dan berhasil fokus kepada sosok Gilang seorang. Mungkin sosok Ayu dan Goldilocks yang cukup mencuri perhatian saya. And in the end, those two are the part of the best happy ending. Selama membaca novel ini saya memainkan film di kepala saya mengikuti setiap adegan yang ditulis Windry. Seperti di novel-novel sebelumnya tulisan Windry menciptakan ruang, waktu dan emosi yang kuat. That's why i love her works so much.

Rasanya sulit untuk tidak menuliskan spoiler di sini. Jadi mungkin kalau ada yang penasaran pengen baca London saya hanya bisa bilang kisah di novel ini mengingatkan saya pada film Spanyol yang dirilis pada tahun 2000, KM.0 . Poster filmnya ada dibawah ini. Di post berikut mungkin akan saya tulis mengenai film ini ^^.


Pict source http://tepasmas.com/pelicula/km_0 


Happy Reading people ! ^^/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar