Suka baca komik,
suka nonton anime, suka harajuku style, dan koleksi elektronik rumah tangga
bermerek So*y, T*shiba, Mi*ako, etc menjadi alasan mengapa seorang lulusann SMU
memilih jurusan Sastra Jepang saat kuliah. Alasan lainnya yang lazim saya
dengar adalah karena mereka melihat banyaknya PMA dari Jepang di Indonesia,
sehingga ia melihat itu sebagai peluang yang bagus. Alasan ini adalah alasan
yang sangat berwibawa dan tepat guna.
Karena dari apa yang saya lihat, sebagian besar yang beralasan di awal saya
sebutkan tadi (suka anime, manga, Japan Pop culture) rata-rata berakhir sebagai
lulusan Sastra Jepang yang tidak tahu bahasa jepang, ironi yang nyaris menyamai “Nihonjin No Shiranai No Nihongo”.
Saya adalah salah
satu di antara golongan pertama yang masuk sastra Jepang. Sebagai penyuka
anime, manga dan pop culture Jepang saya sempat kebingungan saat memilih
jurusan kuliah. Masuk Ilmu Politik tidak direstui. Masuk Hubungan
Internasional, otak saya pas-pasan. Masuk kedokteran sangatlah tidak mungkin. Masuk
DKV biayanya luar biasa besar. Akhirnya saya survey berbagai jurusan kuliah
yang terlihat bakal menyenangkan ketika dijalani dan sesuai dengan hobi (?). Pilihan
saya jatuh pada sastra Jepang, simply because i love its pop culture.
Bayangan saya
ketika memasuki sastra Jepang adalah acara Bunkasai yang akan digelar setiap
tahunnya, seperti yang saya baca liputannya di Animonster. Euforia saya
memasuki sastra Jepang bukan karena segi akademik, lebih kepada selebrasi.
Seperti warga Jepang yang merayakan Natal setiap tanggal 25 Desember, dan
berdoa di kuil pada tanggal 1 januari. Saya benar-benar berpikir untuk
bersenang-senang semata. Bayangan saya kuliah di sastra Jepang akan
mempertemukan saya dengan sesama otaku manga dan anime, penyuka fashion
harajuku dan penggemar Utada Hikaru. Saya tidak membayangkan akan menghapal
ratusan hingga ribuan kanji, mempelajari 3 jenis huruf, memahami keigo, dan
menggali sejarah kelam bangsa Jepang. Have no idea.
Minggu pertama
sebagai mahasiswi Sastra Jepang disebut sebagai junbishuukan (準備週間). Dimana khusus satu minggu awal semua mahasiswa difokuskan untuk
mengahapal mati huruf-huruf hiragana
dan katakana. Hal ini dikarenakan
buku teks pelajaran yang digunakan menggunakan kedua huruf tersebut dan juga kanji. Mengapa kanji tidak dimasukkan ke dalam junbishuukan
juga? Adalah karena tidak mungkin menghapal karakter kanji Jepang yang berjumlah ribuan itu dalam satu minggu. Wong
pelajar Jepang aja punya mata pelajaran Kanji
di sekolahnya kok. Jadi kami para mahasiswa pun memiliki mata kuliah kanji di setiap semesternya.
Kelar junbishuukan, kami memasuki babak
pelajaran sastra Jepang yang sebenarnya. Buku yang kami gunakan adalah buku
Minna No Nihongo I, seperti yang dibawah ini nih..
Buku ini adalah
buku pelajaran bahasa Jepang standar yang digunakan di berbagai belahan dunia.
Bagi mahasiswa yang sudah mampu membaca katakana dan hiragana pelajaran awal
menjadi sangat mudah. Begitu juga bagi saya. Semester 1 saya lalui dengan
sangat santai dan mulus. Saya berhasil memasuki semester II dengan IP 3,5. Saat
saya pikir saya bisa menghandle semester II dengan lebih baik, saya dan beberapa
teman yang terlanjur songong mengambil mata kuliah senioran, Huruf Jepang 4
yang seharusnya di ambil di semester 4. Hasilnya, saya dan teman-teman gagal
berjamaah dengan nilai E menganga di KHS kami semester 2. Artinya kami harus
mengambil mata kuliah huruf Jepang 4 lagi di semester 4.
Pelajaran bahasa
Jepang dari satu semester ke semester berikutnya semakin menggila. Berhubung
mata kuliahnya adalah mata kuliah kontiniu, dimana setiap semester mengalami
peningkatan level kesulitan maka sekali kamu gagal di satu level akan berimbas
ke level-level berikutnya. Dan huruf jepang alias Kanji menjadi mimpi buruk
saya. Akibat kesombongan mengambil mata kuliah kanji dobel di semester 2, kanji
saya kacau balau dan gagal. IP saya jatoh ke angka 2,7. Belum lagi saya
memiliki aktifitas baru sebagai anak pers kampus. Kuliah bahasa yang sama
sekali awam di kuping orang Indonesia (kecuali berbagai merek elektronik yang
marak) sangatlah berat.
Saya gagal! Gagal
jadi lulusan sastra Jepang yang mahir bahasa Jepang. Jujur saya sering
tersandung di mata kuliah linguistik yang sungguh sangat bikin trauma. Apalagi
saya sepertinya memiliki hubungan sangat dekat dengan dosen yang memberi saya
nilai kalo nggak E paling baek D di 3 mata kuliah linguistik. Mental saya lemah
memang ya, gara-gara batu sandungan seupil itu konsentrasi belajar saya pecah.
Perkuliahan
berlanjut dan mata kuliah semakinberagam dan semakin menggila. Sejarah Jepang,
Kebudayaan Jepang, Puisi Jepang, drama Jepang, kami mempelajari tidak hanya
linguistik dan bahasa. Dalam mempelajari mata kuliah kebudayaanpun kami
terkadang menggunakan buku teks berbahasa Jepang, kalau nggak Inggris. Maklum,
buku-buku kebudayaan dan Sastra Jepang belum banyak yang dialih bahasakan. Saya
paling stress kalau belajar sejarah Jepang dengan menggunakan buku teks
berbahasa Jepang. Tidak hanya isi (kontennya) yang purbakala, huruf kanjinya
juga sama sekali tidak ada yang bisa terdeteksi apa artinya. Membuat kami
selalu membolak balik kamus kalau sang dosen nggak menjelaskan bacaannya apa
dan artinya apa. Belum lagi mata kuliah ekspresi bahasa Jepang. Mengingat
sejarah bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat homogen yang kompleks.
Kebudayaan mereka yang ketat memuncukan beragam ekspresi dalam berbahasa. Tidak
heran jika untuk mengungkapkan sesuatu bisa berbeda beda. Seperti penggunaan keigo. Jika dalam percakapan sehari-hari
dengan sahabat dan rekan kita untuk kata makan menggunakan taberu maka jika berhadapan dengan atasan, orang
yang dihormati maka kata yang digunakan adalah meshi agarimasu.
Waktu berlalu dan
saya berhasil lulus juga dengan menyandang gelar SS alias Sarjana Sastra. Beban
yang sangat berat mengingat jika ditanya bahasa Jepang yang masih saya ingat
hanya bagian perkenalan dan nama-nama musim. Soal kanji jangan diungkit. Saya hanya ingat kanji watashi, yama dan Ai (ini
pun saya masih sering salah tulis). Oh iya, saya juga masih ingat kanji Ue dan Shita kekekeke. Jadi jika anda bertanya-tanya mengapa nama blog
saya aneh, itu sebetulnya obsesi awal saya yang ingin nge-blog kejepang-jepangan. Sayangnya saya
tidak pernah benar-benar posting hal-hal berbau bahasa Jepang kecuali hobby
menggambar a la manga saya. Blog saya
sendiri Aoisoranoshitade.blogspot.com, aoi
sora no shita de berarti Under the
blue sky. Nama blog ini terinspirasi dari lagu Jepang yang kami nyanyikan
saat saya mengikuti Gasshuku (semacam
PMB jurusan) di awal kuliah, lagunya kira kira berbunyi seperti ini... Sora no shita de ookikunatte, Sora no shita
de ookikunatte, anata to watashi,
nakayoku asobimashou...
Saat-saat
menyeramkan setelah jadi Sarjana dan mencari kerja adalah saat interview kamu
ditanya macam-macam soal bahasa Jepang, dan kebetulan yang interview ngerti
bahasa Jepang padahal kamu pikir dia tidak mengerti dan kamu berlagak pintar
membodohinya dengan asal jawab sekenanya. Pfuiiiiihhh . Cape deh. Saya pernah
mengalamainya. Harus saya akui itu adalah hal paling memalukan dalam hidup
saya. Wawancara kerja resmi pertama saya ibarat terkena tsunami setelah gempa
10 SR. Harga diri saya runtuh dan sama rata dengan tanah. Saya juga
mempermalukan almamater saya. Trik saya setelah ketahuan? Ngeles...
Dan malam ini
saya bertemu dengan beberapa kawan semasa kuliah di sastra Jepang USU. Dan guess
what, tidak satu pun diantara mereka yang bekerja sesuai dengan jurusan kuliah.
Teman saya yang pertama adalah mantan bankir yang sekarang bekerja sebagai
promotion spv , teman yang kedua bekerja di perusahaan forwarding, dan yang
ketiga adalah Admin sebuah kursus bahasa Inggris. Mereka sama sekali tidak menggunakan
bahasa Jepang yang dipelajari semasa kuliah. Dan guess what, mereka juga
mengalami masa-masa dimana lulusan Sastra Jepang seperti kami dianggap maha
fasih menulis dan membaca kanji serta tahu arti lagu-lagu L’arc en ciel.
Seperti cerita
teman saya yang pertama...
“Saat kami loading
barang baru berupa keyboard merek Kawai seorang teman dengan entengnya meminta saya menerjemahkan tulisan bahasa
Jepang di kemasan keyboard tersebut. Saya ngeles aja kalo saya kesulitan
mengartikan kanjinya. Saya bilang, ‘kalo di sastra Jepang kanji itu bisa
memiliki banyak arti. Jadi tidak bisa sembarangan menerjemahkan sesuatu’”
Lucu sekali...
“kemudian ada
suatu hari datang brand ambasador keyboard merek Kawai ke kantor kami. Para
karyawan heboh meminta saya turun untuk berbincang dengan orang Jepang
tersebut. Saya berhasil menolak turun ke showroom dengan alasan banyak kerjaan.”
Hahahahahahahhahahahha
Teman kedua lebih
ngaco lagi...
“Saat saya
wawancara di epson, saya mendadak diberitahu bahwa saya akan diwawancara oleh
GM-nya langsung yang orang Jepang. Saya tidak menduga akan seperti itu karena
saya tidak melamar menjadi penerjemah Bahasa Jepang. Ketika si GM muncul saya
langsung berdiri dan bersusah payah mengucapkan kalimat dalam bahasa Jepang
yang berarti,’Maaf saya mengundurkan diri dari wawancara ini’”
Bahasa Jepang
memang mengerikan! Salah ding, kami para lulusannya yang mengerikan.
So, just for your
information. Jika saya amati dari 40-an lulusan Sastra Jepang satu angkatan
dengan saya, saya rasa kurang dari 10 orang yang menggeluti profesi yang
berhubungan denngan bahasa Jepang. Saya rasa pun hanya 4 orang. 2 bekerja di
Konsulat Jenderal jepang di Medan, dan 2 orang menjadi Nihongo Kyoushi di SMA. Yang lainnya? Kebanyakan malah bekerja di
dunia perbankan. Tidka heran banyakl perusahaan Jepang yang masih saja
kewalahan mencari tenaga kerja Penterjemah di Indonesia.
Belajar bahasa
yang sangat tidak familiar di kehidupan sehari-hari sangatlah challenging. Jika
bahasa Inggris sudah sangat familiar dimana sehari-hari kita bisa mendengar
anak es-de mengumpat mengucapkan “F*CK YOU!” maka bahasa Jepang sangat langka
penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari. Setahu saya hanya jokes bahasa jepang
yang sering digunakan masyarakat Indonesia, seperti Takashimura (tak kasih
murah) dan sakurata (miskin cyintt). Untuk kosa kata entah kosa kata mana dalam
bahasa Indonesia selain romusha yang
diserap dari bahasa Jepang. Kemungkinan ini seharusnya ada mengingat Jepang
pernah menjajah Indonesia selama 3,5 tahun.
Kunci dari
mempelajari bahasa adalah dengan mempraktekkannya sesering mungkin. Jika tidak
dipraktekkan mana mungkin sebuah bahasa akan dapat dikuasai. Minimal kalau tidak
diucapkan biasakanlah diri untuk dekat dengan bahasa Jepang seperti mendengar
lagu-lagu Jepang dan Menonton dorama dan movie Jepang. Cara ini sangat ampuh
untuk membuat kamu memahami penggunaan pola kalimat khususnya percakapan dalam
bahasa Jepang. Saya jika ditanya mengerti bahasa Jepang maka saya akan menjawab
ya saya mengerti sedikit. Kalau menonton dorama atau movie, saya dapat memahami
jalan ceritanya dari penggalan-penggalan dialog yang berhasil saya pahami. Tapi
jika mengucapkannya saya nyerah. Bahasa Jepang saya sudah terkikis Korean Wave.
Hahahahahaha. Joudan ne~
Setelah melewati
berbagai interview dan disentil mengenai kemampuan bahasa saya, saya mulai
sedikit tersadar dengan big black hole in
my life history ini. Jadi dengan tekkad yang (agak) kuat saya berniat untuk
mengulang belajar bahasa yang satu ini dari awal. Saya kembali mebuka minna no nihongo I dan mulai berbincang
dengan tawapon-san dan Maiku Miraa. Insya Allah kalo nggak ada halangan saya
ingin mengikuti Noryoukushiken atau semacam ujian kemampuan bahasa Jepang atau
TOEFL dalam bahasa Inggris tahun depan. Saya berharap saya dengan bangga akan
berkata saya mampu berbahasa Jepang karena saya lulusan Sastra Jepang. Dan
tidak ngeles lagi jika ditanya atau diminta berbahasa Jepang. Walau nantinya
pekerjaan saya tidak berhubungan dengan bahasa Jepang. ^^
Ini secuil kenangan dari kebersamaan kami para eks mahasiswa Sastra Jepang USU angkatan 2006
dan kenangan indah saat BUNKASAI USU 2011
^^/