Setelah sehari sebelumnya memesan tiket berikut transport ke bandara sekaligus, siang tadi sekitar pukul 13.30 WIB saya dijemput sama pihak travel di rumah. *awalnya saya sempat ketar-ketir karena jasa travel antar jemput ini sudah di kasih bad reputation sama pengguna jasa travel se- orang-orang yang saya kenal* Perjalanan berlangsung dengan mulus dengan penumpang full dan kebetulan 4 diantaranya (dari 7 muatan) juga merupakan penumpang pesawat yang sama dengan saya. Setelah bertukar cerita dan bertukar kantong plastik (4 orang ini terdiri dari seorang ibu dengan sepasang anak balita dan kakek tua) karena 3 diantara mereka mabuk darat, saya mulai sok-sok baik hati dan beramah tamah dengan dua anak balita yang sangat unyu tersebut. awalnya mereka jaga jarak dan masih malu-malu dengan saya, tapi setelah itu...
Dimulai dari saat kami sampai di bandara, saya jadi korban kebaikan saya sendiri dengan dimintai tolong membawakan satu kardus bawaan si ibu yang TERNYATA bawaannya segambreng! 3 kardus. 1 travelling bag medium.dan 2 tas jinjing segede kapal pesiar memuat pakaian. Si ibu memang meminta bantuan porter untuk mengangkat semuanya, hanya saja karena tidak muat di troley si porter menyerahkan sebuah kardus untuk saya bawa. *Dipikirnya saya anggota rombongan*. Karena kasian sama si Ibu dengan tas bepergiannya cukup besar dan si kakek sangat tua renta, saya mengikuti permainan mereka *caelah*.
Berhubung travel kami kecepatan nyampe bandara, kami memiliki waktu 2 jam lebih sebelum boarding. Sambil menunggu counter check in dibuka, saya duduk terpisah dengan rombongan keluarga tersebut. Nah, saat check in, porter yang seharusnya membantu keluarga kecil ini tidak kembali, alhasil si ibu terpaksa mendorong troley dengan muatan maha daya cinta itu sendirian, sementara dua buah hatinya menggelinjang sana sini seperti cacing kepanasan. Saya akhirnya memutuskan untuk membantu si ibu lagi. Kasian. Itu masih menjadi alasan.
Saat saya mendongkol itulah saya merasa sedikit aneh. Saya merasa apa yang saya lakukan salah. "seharusnya tadi aku nggak usah nge-baik-baikin si ibu dan anak-anaknya,"pikir saya. Tapi setelah berpikir begitu muncul pikiran lain, "Ya ampunnnn, segitunya? Masak menolong orang yang aja jadi susah hati dan mendongkol gitu?" Rendah banget ya. Saya jadi malu sendiri. Bukannya saya menolong ibu itu atas inisiatif sendiri? Saya toh yang memulai semuanya. Saya yang mengulurkan pertolongan. Si Ibu nggak minta.
Setelah sadar akan keburukan dan kenistaan diri ini, saya akhirnya mengulurkan tangan dengan ramah untuk membimbing kedua bocah tersebut. Kali ini saya tulus, benar-benar tulus. Nggak pake akal bulus, apalagi niat minta fulus. hehe
Anak-anak pastilah sangat peka bin sensitif dengan bujuk rayu umat yang tak tulus. Hal itu saya simpulkan dari reaksi dua balita yang awalnya malu-malu dan jaga jarak sama saya. Begitu saya berhasil membersihkan hati dan menawarkan kebajikan murni, mereka seolah lupa kalau saya orang asing dan mulai bergelayutan di pinggang saya serta memaggil saya Ante (Tante dalam bahasa Minang).
Kedua Bocah itu bernama Tria, umurnya mungkin masih 5 tahun, dan Sandy yang saya duga berusia 4 tahun. Mereka kakak beradik yang cukup akrab, hal ini terlihat dari kekompakan mereka berlarian sana sini dan berbagi makanan selama di ruang tunggu bandara. Jika Tria mulai beraksi dengan berloncatan di atas kursi, Sandy akan mengikutinya. Saat Tria mengadakan acara hide and seek dari kolong ke kolong kursi ruang tunggu maka Sandy akan mengekorinya. Begitu juga saat Tria ingin ke toilet, Sandy memaksa ikut sehingga saya terpaksa menahannya dengan cara memeluknya agar tidak mengikuti Ibu dan kakaknya. Pasalnya sebelum mereka saya juga sudah ke toilet, sesak oleh orang-orang. Pastinya Si ibu akan kewalahan mengurus anak-anak yang pipis dan berlarian di saat bersamaan.
Saat ditinggal berdua itulah sandy yang berusaha membebaskan diri menyerudukkan kepalanya ke jidat saya. Walhasil pelipis saya bengkak dan mata saya perih. Ini anak batok kepalanya dibikin dari material apa sih? Sementara saya meringis kesakitan, Sandy berhasil meloloskan diri. Tidak lama, ia kecewa, saay menjambret bagian hoodie jaketnya, sehingga ia kembali dengan sukses berada dalam jangkauan saya. Bocah malang.
Tria dan Ibunya kembali. Tria kebingungan melihat saya beberapa kali meringis menahan sakit sambil sesekali memijat pelipis. "Ante kenapa? Sakit ya?" Ia beringsut mendekati saya. Wajahnya yang lugu itu mendekat sehingga saya nyaris bisa melihat upilnya. Saya menggeleng pasrah. Anak ini tidak boleh mengetahui kenakalan adiknya. Bisa-bisa dia meniru. Lho?
"Jidat Ante berbenturan sama kepala Sandy tadi," jawab saya.
"Mana mana mana, coba Tria lihat..."
"Ini ni ni ni.. " balas saya antusias sambil menyodorkan pelipis yang masih nyut-nyutan.
"Pasti sakit, sini Tria sembuhkan," ia kontan mengulurkan tangan memegang kepala saya. "Tundukkan sikit Ante..."pintanya. Saya nurut.
Sesuatu yang basah mendarat di pelipis saya. What The....
CUP..
"Nah, udah sembuh... " Tria melepaskan kepala saya dan tersneyum lebar memamerkan deretan gigi depannya yang keropos dimakan jaman, uppsss dimakan kuman makanan manis ding.
Saya terpana dan meraba pelipis saya. Masih nyeri dan nyut-nyutan. Tapi hati saya yang sempat sedikit perih (bahhhh...) tersembuhkan. Rasa sakit itu hilang.
Masih 30 menit lagi sebelum boarding, saya kembali disibukkan dengan mengawasi kedua bocah itu menggelepar sana sini seperti ikan terdampar di daratan. Kali ini sesekali mereka menyorongkan tangan yang ntah higienis tah nggak itu ke mulut saya. Setelah berkali-kali menolak akhirnya saya menyerah dan menerima apa pun yang disorongkan ke mulut saya. ternyata oh ternyata, permen cokelat Cha Cha.
Saat boarding, ternyata tempat duduk kami terpisah jauh. Saya mendengar Sandy mencari-cari saya dan ribut menanyakan keberadaan saya kepada Ibunya. Saya jadi tersenyum membayangkan ibunya berusaha menahan Sandy agar tidak turun dari kursi untuk berlari kesana kemari.
Selama perjalanan yang hanya 50 menit itu saya nyaris mati kebosanan. Saya tidak terbiasa bepergian dengan pesawat terbang. Biasanya saya menempuh perjalanan Medan-Batusangkar lewat jalur darat. Keuntungan lewat jalur darat adalah ongkos murah, tidak membosankan karena saya biasanya akan sms-an, membaca dan mendengarkan musik. 24 jam tidak terasa sama sekali. Kalau naik pesawat terbang, saya tidak banyak beraktifitas. Hanya duduk dan membaca in flight magazine. Mau beraktifitas pun serba nanggung. Hanya 50 menit. kebetulan saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Dari tempat duduk saya yang berada di tengah dekat lorong, saya sesekali mengintip jendela dari balik bahu penumpang di sebelah saya. Kilat menyambar. Pesawat sesekali bergetar kuat.
Akhirnya perjalanan usai. Setelah touch down di bandara Polonia, saya bergegas turun dan berbaur kembali dengan ke dua bocah yang menyibukkan saya sebelumnya. Mereka kaget melihat saya lagi. Rupanya mereka berpikir bahwa saya sudah tidak bersama mereka lagi. haha.
Ada pertemuan pastinya ada perpisahan. Karena lokasi tempat tinggal kami tiodak searah maka kami jalan masing-masing menuju rumah. Saya mengucapkan selamat tinggal kepada Tria, sandy, si Kakek dan Ibu mereka. Kedua bocah itu memeluk saya erat dan menciumi pipi saya, kiri dan kanan sama rata. Masih saja basah oleh liur mereka. Tapi tak apa lah. Anggap obat jerawat saja. =)
pict source : http://chicago.travora.com/articles/chicago-ohare-family-travel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar