Kamis, 09 Februari 2017

Jelajah Pariangan Part 2 : Panorama Jorong Guguak


Jorong Guguak adalah perkampungan tertinggi di Nagari Tuo Pariangan. Dari dusun ini kita dapat menikmati pemandangan lembah di kaki gunung Marapi berikut pemukiman dan areal pertanian penduduknya. Sawah berjenjang dan perbukitan hijau memanjakan sejauh mata memandang. Guguak menjadi best view point untuk melihat keindahan alam ranah Minang yang telah termasyur.

Kami menjadikan Jorong guguak sebagai destinasi ke-2 one day trip kami di Nagari Tuo Pariangan. Alasannya adalah karena lokasi ini adalah yang terjauh dari keseluruhan objek-objek wisata yang ada di Nagari tersebut. Sebelumnya, saya sudah pernah mengunjungi Guguak dalam rangka menengok Festival Rupa Nagari Pariangan 2016 silam. Pemandangan alam yang saya saksikan kala itu terus terbayang di benak saya dan mendorong saya untuk kembali singgah. Dan akhirnya, pada tanggal 8 Februari kemarin niat saya untuk kembali akhirnya terlaksana juga.

Menuju Jorong Guguak tidaklah sulit. Dari gerbang masuk Nagari Tuo Pariangan yang berada di Jalan Raya Batusangkar - Padang Panjang, anda hanya perlu mengikuti jalan tersebut hingga sampai ke Jorong Guguak. Jalan yang ditempuh cukup sempit. Beberapa sisi jalan terban dan di beberapa titil terdapat lubang. Pastikan untuk berkendara dengan hati-hati jika anda baru pertama kali kesini. 

Di lokasi ini telah tersedia beberapa view point yang dikelola oleh masyarakat. Mereka juga mendirikan warung sederhana yang menyajikan makanan dan minuman kawa daun. Karena tujuan kami hanya untuk menikmati pemandangan alamnya saja, maka saya pun membawa Merry, Kherza dan Kuntum ke areal persawahan dimana tahun lalu menjadi lokasi Festival Rupa Pariangan dan juga  sering dijadikan lokasi pacu jawi. Untuk menuju lokasi ini kami harus melewati perumahan penduduk dengan jalan sempit dan berkelok. Meski sempit, jalan ini dapat dilalui oleh satu kendaraan roda empat kok.

berikut beberapa foto yang saya ambil dari lokasi ini.





Setelah puas berfoto-foto di lokasi ini, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju destinasi selanjutnya. Namun udara dingin memunculkan ide lain di benak kami. Makan mie rebus pedas dan panas sepertinya enak nih.

Maka, kami pun singgah di sebuah warung yang juga menjadi view point Guguak. Warung ini bernama warung Puncak Mortir. Awalnya saya salah baca dan berpikir bahwa nama puncak tersebut montir, bukan mortir. Mortir sendiri mengingatkan saya kepada hal yang berbau militer, ketika saya tanyakan kepada google yang dengan praktis merujuk saya kepada wikipedia saya menemukan jawaban bahwa mortir adalah sejenis senjata artileri yang diisi dari depan, menembakkan peluru dengan kecepatan rendah dan jangkauan yang dekat. Mengapa diberi nama puncak Mortir? Sang pemilik warung pun dengan senang hati menjelaskannya kepada kami bahwa di dekat warungnya terdapat sebuah lubang peninggalan masa penjajah. Lubang tersebut cukup lebar dan panjang. Namun sayangnya lubang tersebut telah tertutup reruntuhan batu dan tanah. Menurut bapak pemilik warung akan sangat berbahaya jika lubang tersebut dibuka kembali. Beliau juga berkisah dahulunya mesjid yang berada di dekat warung pernah dihujani bom sehingga rusak parah. 

Bagian yang dilingkar merah adalah lokasi lubang mortir yang dimaksud si Bapak. Apakah lubang ini bekas hantaman bom atau tempat berlindung bagi pejuang di masa perang, mungkin diperlukan penelitian yang lebih lanjut.

Oh ya, kami akhirnya memesan mie rebus setelah terlebih dahulu menanyakan harganya. Harganya wajar dan standar, Rp 6000 / porsi. Kami juga memesan goreng pisang yang sedang dimasak oleh istri si Bapak. Sembari menunggu mie pesanan kami siap, kami pun memanfaatkan waktu untuk kembali berfoto.






Tidak lama kemudian, mie rebus kami siap dan dihidangkan. Kami menyantapnya sembari duduk di bale bale bambu yang menghadap langsung ke hamparan sawah dan lembah. Mie racikan si Ibu memang mie instan, tapi tambahan sambalnya menjadikannya jawara. Cabenya adalah cabe lokal Pariangan yang sudah saya kenal level kepedasannya. Kami pun menikmati mie rebus kami dengan hati gembira walau sensasi pedasnya membakar lidah.



Setelah selesai menikmati mie rebus kami, si Bapak bertanya kemana tujuan kami selanjutnya. Ketika kami bilang akan menuju mesjid Islah atau Kuburan Panjang, si Bapak mengusulkan agar kami mengunjungi air terjun yang berlokasi tidak jauh dari puncak Mortir. Tidak jauh, hanya 100 meter, begitulah cara si Bapak meyakinkan kami. Simak kisah perjalanan kami mencari air terjun di postingan selanjutnya, ya. 

Note : Some of the photographs are taken by Kherza, Kuntum and Merry. Especially the Puncak Mortir session. Thank you girls!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar