Internet memang sering menciptakan keajaiban. Bukan, bukan keajaiban macam dunia saga Harry Potter, tapi keajaiban mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Ketika kamu mengunggah sesuatu di dunia maya, social media khususnya, kamu tidak akan pernah tahu sejauh mana unggahan kamu akan mempengaruhi kehidupan orang banyak. Mungkin dulunya remaja-remaja Jorong Padang Data yang iseng berfoto dengan kincir air di kampungnya tidak akan pernah menyangka bahwa foto unggahan mereka akan mampu mengubah desa yang awalnya sepi menjadi ramai dan dibicarakan dimana-mana. Desa yang awalnya sunyi mendadak menjadi objek wisata yang disambangi oleh wisatawan dari berbagai daerah. Itu lah cerita yang saya dapatkan dari pemilik warung bernama Upik ketika berkunjung ke objek wisata baru yang sedang ramai dibicarakan di Kabupaten Tanah Datar, Kincia Aia Kamba Tigo (Kincir Air Kembar Tiga).
Ketika kincir air ini dibangun, dua tahun yang lampau. sang perancang kincir hanya berniat agar masyarakat yang hidup di perbukitan Jorong Padang Data dapat mengakses air dari sungai Ombilin yang mengaliri desa mereka. Selain itu, air jernih dari sungai ini juga dapat digunakan untuk memenuhi bak penampungan air di Mesjid dan memperlancar proses peribadahan di desa tersebut. Siapa sangka setelah hampir dua tahun, kincir tersebut mendatangkan berkah lain bagi masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani ini.
"Ini desainernya anak nagari sini, arsitek yang bekerja di Jakarta," ujar Uni Upik pemilik salah satu warung di dekat kincir air tersebut. Uni Upik juga bercerita bahwa pendanaan pembangunan kincir ini juga berasal dari perantau Jorong Padang Data dan masyarakat Jorong kemudian bekerja sama menyelesaikan pembangunannya bersama tukang yang didatangkan dari Talawi. "Karena air besar, kipas-kipas kincirnya jadi rusak sekarang," tambah Uni Upik sambil menunjuk tukang-tukang yang tengah bekerja memperbaiki struktur kincir.
Ya, ketika kami berkunjung ke kincir ini kami hanya mendapati tiga buah kincir besar yang sedang tidak berfungsi. Kipas-kipas yang disebut Uni Upik terlepas dari struktur dan dua orang tukang tengah bekerja memoles penopang kincir yang terbuat dari beton. Uni Upik kemudian bercerita bahwa seminggu setelah tahun baru arus air yang deras mengakibatkan kerusakan yang cukup parah terhadap struktur kincir sehingga sudah hampir sebulan kincir ini tidak beroperasi. Namun beberapa kincir milik pribadi warga yang digunakan untuk mengairi sawah tampak masih berjalan normal. Setelah saya perhatikan lebih seksama, kincir-kincir itu terlihat masih baru, sementara kincir kembar tiga kebanggaan penduduk ini sudah cukup dimakan usia, dilihat dari kayu-kayunya yang sudah kusam dan berlumut.
Siang itu hanya saya, adik saya dan seorang teman adik yang menjadi wisatawan di Kincir kembar tiga tersebut. Dari banyak warung yang berdiri di pinggir sungai, hanya beberapa yang buka. Para pemilik warung juga terlihat lesu dan tidur-tiduran di bangku warung mereka mengingat sepinya pengunjung. Uni Upik memiliki warung yang berada tepat disebelah kiri kincir. Warungnya menjadi warung yang terdekat dari struktur kincir sehingga kami memutuskan untuk menumpang makan siang disana. Uni yang ramah ini membuka warungnya setelah kincir ini ramai dikunjungi selepas hari Raya Idul Fitri tahun 2016. "Dahulu disini semak semua, orang paling kesini untuk mencuci dan mandi," ujarnya mengenang masa-masa sebelum kincir ini populer. "Kami awalnya biasa-biasa saja dengan keberadaan kincir, setelah itu anak-anak sekolah disini sering berfoto dan memasangnya di internet. Baru setelah lebaran makin banyak orang yang datang," cerita uni Upik.
Sekilas, memang tidak ada yang istimewa dengan kincir air ini. Jujur, saya sedikit kecewa ketika melihat kincir yang tengah rusak dan tidak beroperasi ini. Dari foto-foto yang beredar, spot terbaik mengambil gambar disini adalah dari jalan setapak kecil di atas bukit yang mengarah ke kincir dan sungai dan satu lagi adalah dari seberang sungai. Saya mencoba mencelupkan kaki ke dalam sungai yang hari itu berarus cukup deras untuk menguji seberapa dalam sungai ombilin ini. Ups, saya kehilangan pijakan dan kaki saya terperosok ke dalam sungai hingga setengah paha. Sebagai perenang gaya batu, sungai ini sudah menolak saya. Kamipun berencana pulang setelah makan siang dan mengambil foto dengan latar belakang kincir dan sungai saja.
"Paling bagus diambil dari tengah kak," tiba-tiba adik Uni Upik pemilik warung mengusulkan kepada kami yang sudah tidak terlalu bersemangat. "Nyebrang kakak ke tengah tu, ke warung terapung ditengah sungai, nanti bisa berfoto dengan latar belakang kincir."
Kami menolak dan mengatakan tidak satu pun diantara kami yang bisa berenang. Namun adik uni Upik yang bersama Desi terus berusaha meyakinkan kami, "tidak dalam kok kak, lewat jalur yang disana, tidak bakal tenggelam kok. Lihat anak kecil saja berenang disana." Kami mengikuti arah yang ditunjuk Desi, terlihat anak kecil berenang dengan lincah melawan arus. Uni Upik juga menyemangati kami. Saya dan teman adik yang bernama Kherza pun tergoda untuk mencoba menyeberang.
"Pakai benen aja kak kalau kakak takut, pegangan sama benennya," ide Desi itu pun kemudian membuat kami menguatkan tekad untuk menyeberang. Kami pun akhirnya menceburkan diri ke sungai dan ya, arusnya cukup kuat. Kedalaman air mencapai pinggul kami dan Desi menuntun kami dengan benen besar menuju warung terapung ditengah sungai. Merry, adik saya, hanya melihat dari kejauhan. Dia memang sangat penakut kalau sudah berhubungan dengan air. Dan perjuangan kami tidak sia-sia. Desi menuntun kami dengan selamat hingga ke tengah sungai. Setelah kami menaiki warung terapung yang terbuat dari bambu ia pun menunjukkan spot foto yang bagus dan kemudian meninggalkan kami untuk bersenang-senang. Merry pun akhirnya tergoda melihat kami heboh dengan hasil foto kami. Ia pun meminta Desi menjemputnya.
Setelah formasi lengkap, barulah kami kemudian melanjutkan sesi berfoto kami. Uni Upik dan Desi benar. Disini adalah salah satu spot berfoto terbaik dari Kincie Kamba Tigo!
Dan, Inilah pahlawan kami hari itu. Jika bukan karena inisiatif Desi yang menyeberangkan kami kami mungkin akan pulang dengan hasil foto yang mengecewakan dan lupa bahwa bermain air itu menyenangkan, bahkan untuk orang dewasa macam kami.
Uni Upik, kakak Desi, juga merupakan 'pemandu' yang baik. Ia bercerita dengan ramah mengenai asal muasal pembangunan kincir dan bahkan menjelaskan kepada kami berbagai hal mengenai Jorong Padang Data dan daya tarik lainnya. Nah, daya tarik lainnya adalah sebuah legenda mengenai batu bungkuk yang berada di dekat jembatan satu kilometer dari lokasi kincir. Konon seorang pemuda dikutuk menjadi batu karena mengabaikan panggilan untuk Sholat Jumat. Berhubung kami sudah harus segera kembali, kami merencanakan akan kembali begitu kincir selesai diperbaiki sembari menengok legenda batu bungkuk tersebut.
Oh ya, untuk menuju ke lokasi Kincir Air ini tidaklah sulit. Kincir Air Kembar Tiga berlokasi di Jorong Padang Data, Nagari Simawang. Apabila berkendara dari Arah Rambatan atau Batusangkar simpang jalan menuju kincir ini ada disebelah kiri dan didepannya terdapat sebuah mesjid. Lokasi simpang ini hanya berjarak lebih kurang 2 km dari simpang Siturah dimana lokasi objek wisata andalan Tanah Datar lainnya, Puncak Aua Sarumpun berada. Kalau anda berkendara dari arah Ombilin simpang menuju Kincir akan berada di sebelah kanan. Jangan khawatir akan tersesat, terdapat papan nama Kincir Kembar Tiga yang sederhana di persimpangan tersebut. Dan, berdasarkan pengalaman kami berkunjung kesini tempo hari, penduduk Jorong Padang Data sangat ramah dan berinisiatif menunjukkan jalan kepada setiap pengunjung. Bahkan kami mendapat sambutan yang manis dari adik-adik sekolah dasar yang baru pulang sekolah. Mereka menyapa kami dengan sebutan kakak dan mengarahkan kami ke jalan menuju kincir tanpa kami perlu bertanya. Kebetulan memang terdapat sebuah sekolah dasar di jalan menuju kincir tersebut.
Setelah melewati jalan yang masih berupa jalan tanah dan berbatu pengunjung akan disambut dengan spanduk yang akan mengarahkan pengunjung ke jalan menurun menuju sungai. Terdapat area parkir untuk sepeda motor dan mobil di bawah sana. Kami lupa menanyakan berapa tarif parkirnya. Saat itu pengunjung hanya kami bertiga dan kami memarkir kendaraan di depan sebuah warung. Ketika pulang, pemilik warung meminta Rp 5000 untuk dua sepeda motor kami. Kami juga sempat mendengar mengenai tarif masuk, akan tetapi sesampainya dipinggir sungai kami tidak dikenakan biaya apa pun bahkan sampai pulang. Kami hanya mengeluarkan uang untuk membayar jajanan dan sewa sebuah benen yang dipergunakan untuk membantu kami menyeberang.
Well, bagaimana? Tertarik berkunjung kesini? Saya rasa objek wisata kincir ini dapat menarik perhatian berbagai kalangan. Tidak hanya wisatawan umum, para mahasiswa dan pelajar yang tertarik dengan cara kerja kincir ini pastinya juga dapat menikmati pesona kincir 'ajaib' ini. Happy travelling, people!
Ketika kincir air ini dibangun, dua tahun yang lampau. sang perancang kincir hanya berniat agar masyarakat yang hidup di perbukitan Jorong Padang Data dapat mengakses air dari sungai Ombilin yang mengaliri desa mereka. Selain itu, air jernih dari sungai ini juga dapat digunakan untuk memenuhi bak penampungan air di Mesjid dan memperlancar proses peribadahan di desa tersebut. Siapa sangka setelah hampir dua tahun, kincir tersebut mendatangkan berkah lain bagi masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani ini.
"Ini desainernya anak nagari sini, arsitek yang bekerja di Jakarta," ujar Uni Upik pemilik salah satu warung di dekat kincir air tersebut. Uni Upik juga bercerita bahwa pendanaan pembangunan kincir ini juga berasal dari perantau Jorong Padang Data dan masyarakat Jorong kemudian bekerja sama menyelesaikan pembangunannya bersama tukang yang didatangkan dari Talawi. "Karena air besar, kipas-kipas kincirnya jadi rusak sekarang," tambah Uni Upik sambil menunjuk tukang-tukang yang tengah bekerja memperbaiki struktur kincir.
Ya, ketika kami berkunjung ke kincir ini kami hanya mendapati tiga buah kincir besar yang sedang tidak berfungsi. Kipas-kipas yang disebut Uni Upik terlepas dari struktur dan dua orang tukang tengah bekerja memoles penopang kincir yang terbuat dari beton. Uni Upik kemudian bercerita bahwa seminggu setelah tahun baru arus air yang deras mengakibatkan kerusakan yang cukup parah terhadap struktur kincir sehingga sudah hampir sebulan kincir ini tidak beroperasi. Namun beberapa kincir milik pribadi warga yang digunakan untuk mengairi sawah tampak masih berjalan normal. Setelah saya perhatikan lebih seksama, kincir-kincir itu terlihat masih baru, sementara kincir kembar tiga kebanggaan penduduk ini sudah cukup dimakan usia, dilihat dari kayu-kayunya yang sudah kusam dan berlumut.
Siang itu hanya saya, adik saya dan seorang teman adik yang menjadi wisatawan di Kincir kembar tiga tersebut. Dari banyak warung yang berdiri di pinggir sungai, hanya beberapa yang buka. Para pemilik warung juga terlihat lesu dan tidur-tiduran di bangku warung mereka mengingat sepinya pengunjung. Uni Upik memiliki warung yang berada tepat disebelah kiri kincir. Warungnya menjadi warung yang terdekat dari struktur kincir sehingga kami memutuskan untuk menumpang makan siang disana. Uni yang ramah ini membuka warungnya setelah kincir ini ramai dikunjungi selepas hari Raya Idul Fitri tahun 2016. "Dahulu disini semak semua, orang paling kesini untuk mencuci dan mandi," ujarnya mengenang masa-masa sebelum kincir ini populer. "Kami awalnya biasa-biasa saja dengan keberadaan kincir, setelah itu anak-anak sekolah disini sering berfoto dan memasangnya di internet. Baru setelah lebaran makin banyak orang yang datang," cerita uni Upik.
Sekilas, memang tidak ada yang istimewa dengan kincir air ini. Jujur, saya sedikit kecewa ketika melihat kincir yang tengah rusak dan tidak beroperasi ini. Dari foto-foto yang beredar, spot terbaik mengambil gambar disini adalah dari jalan setapak kecil di atas bukit yang mengarah ke kincir dan sungai dan satu lagi adalah dari seberang sungai. Saya mencoba mencelupkan kaki ke dalam sungai yang hari itu berarus cukup deras untuk menguji seberapa dalam sungai ombilin ini. Ups, saya kehilangan pijakan dan kaki saya terperosok ke dalam sungai hingga setengah paha. Sebagai perenang gaya batu, sungai ini sudah menolak saya. Kamipun berencana pulang setelah makan siang dan mengambil foto dengan latar belakang kincir dan sungai saja.
"Paling bagus diambil dari tengah kak," tiba-tiba adik Uni Upik pemilik warung mengusulkan kepada kami yang sudah tidak terlalu bersemangat. "Nyebrang kakak ke tengah tu, ke warung terapung ditengah sungai, nanti bisa berfoto dengan latar belakang kincir."
Kami menolak dan mengatakan tidak satu pun diantara kami yang bisa berenang. Namun adik uni Upik yang bersama Desi terus berusaha meyakinkan kami, "tidak dalam kok kak, lewat jalur yang disana, tidak bakal tenggelam kok. Lihat anak kecil saja berenang disana." Kami mengikuti arah yang ditunjuk Desi, terlihat anak kecil berenang dengan lincah melawan arus. Uni Upik juga menyemangati kami. Saya dan teman adik yang bernama Kherza pun tergoda untuk mencoba menyeberang.
"Pakai benen aja kak kalau kakak takut, pegangan sama benennya," ide Desi itu pun kemudian membuat kami menguatkan tekad untuk menyeberang. Kami pun akhirnya menceburkan diri ke sungai dan ya, arusnya cukup kuat. Kedalaman air mencapai pinggul kami dan Desi menuntun kami dengan benen besar menuju warung terapung ditengah sungai. Merry, adik saya, hanya melihat dari kejauhan. Dia memang sangat penakut kalau sudah berhubungan dengan air. Dan perjuangan kami tidak sia-sia. Desi menuntun kami dengan selamat hingga ke tengah sungai. Setelah kami menaiki warung terapung yang terbuat dari bambu ia pun menunjukkan spot foto yang bagus dan kemudian meninggalkan kami untuk bersenang-senang. Merry pun akhirnya tergoda melihat kami heboh dengan hasil foto kami. Ia pun meminta Desi menjemputnya.
Uni Upik, kakak Desi, juga merupakan 'pemandu' yang baik. Ia bercerita dengan ramah mengenai asal muasal pembangunan kincir dan bahkan menjelaskan kepada kami berbagai hal mengenai Jorong Padang Data dan daya tarik lainnya. Nah, daya tarik lainnya adalah sebuah legenda mengenai batu bungkuk yang berada di dekat jembatan satu kilometer dari lokasi kincir. Konon seorang pemuda dikutuk menjadi batu karena mengabaikan panggilan untuk Sholat Jumat. Berhubung kami sudah harus segera kembali, kami merencanakan akan kembali begitu kincir selesai diperbaiki sembari menengok legenda batu bungkuk tersebut.
Setelah melewati jalan yang masih berupa jalan tanah dan berbatu pengunjung akan disambut dengan spanduk yang akan mengarahkan pengunjung ke jalan menurun menuju sungai. Terdapat area parkir untuk sepeda motor dan mobil di bawah sana. Kami lupa menanyakan berapa tarif parkirnya. Saat itu pengunjung hanya kami bertiga dan kami memarkir kendaraan di depan sebuah warung. Ketika pulang, pemilik warung meminta Rp 5000 untuk dua sepeda motor kami. Kami juga sempat mendengar mengenai tarif masuk, akan tetapi sesampainya dipinggir sungai kami tidak dikenakan biaya apa pun bahkan sampai pulang. Kami hanya mengeluarkan uang untuk membayar jajanan dan sewa sebuah benen yang dipergunakan untuk membantu kami menyeberang.
Well, bagaimana? Tertarik berkunjung kesini? Saya rasa objek wisata kincir ini dapat menarik perhatian berbagai kalangan. Tidak hanya wisatawan umum, para mahasiswa dan pelajar yang tertarik dengan cara kerja kincir ini pastinya juga dapat menikmati pesona kincir 'ajaib' ini. Happy travelling, people!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar