Sejak Desa Pariangan dinobatkan sebagai salah satu desa terindah di dunia, makin banyak saja orang yang penasaran untuk membuktikan kebenarannya. Tidak hanya mengundang penasaran pelancong dari luar Sumatera Barat, tapi juga mamancing rasa ingin tahu masyarakat yang hidup tidak jauh dari Nagari ini namun belum sekalipun menjejakkan kaki dan mencicipi sekeping surga di lereng gunung Marapi tersebut. Apalagi semenjak digelari salah satu desa terindah, sepertinya Pariangan menyedot perhatian berbagai media, baik itu cetak dan elektronik. Popularitas Pariangan semakin meroket, dan momentum tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pihak, baik itu pemuda dan pemerintah Nagari bersama Pemerintah Daerah Tanah Datar melalui instansi-instansi terkait.
Menurut anda, apakah yang disebut sebuah desa terindah? Apakah dari keindahan alamnya? Keunikan budaya? atau terpeliharanya berbagai warisan budaya dari masa ke masanya? Well, Pariangan punya semua itu. Sebelum desa dianugerahi gelar ciamik oleh situs Budget Travel USA, desa ini sudah terlebih dahulu dikenal sebagai negeri asal leluhur suku bangsa Minangkabau di Indonesia. Tidak heran jika Pariangan menjadi magnet bagi masyarakat Minangkabau yang mengenalnya lewat tambo dan mengundang para peneliti untuk melihat dari dekat berbagai bentuk kebudayaannya. Bangunan-bangunan rumah gadang (rumah tradisional Minangkabau) masih banyak berdiri tegak dan sebagian besar masih terpelihara dengan baik. Situs-situs cagar budayanya juga tersebar disetiap sudut perkampungan dan kisah-kisah yang menyertainya selalu diwariskan dari generasi ke generasi. Kesemuanya itu dibungkus oleh alam yang indah yang terdiri dari hamparan sawah, rangkaian perbukitan dan air yang mengalir dari sumber-sumber mata air gunung baik itu sejuk maupun panas.
Sebagai penduduk Kabupaten Tanah Datar, saya sudah tidak asing dengan Pariangan. Pertama kali menginjakkan kaki di desa ini adalah ketika mengikuti acara Kemah Bakti Siswa (KBS) jaman SMA. Berikutnya Abang sulung mempererat hubungan kami dengan negeri sejuk ini lewat pernikahannya dengan gadis asli Nagari Pariangan yang jago mengaji. Sejak saat itu intensitas kunjungan saya ke Pariangan mulai meningkat. Tidak hanya berkunjung untuk bersilaturahmi, saya dan adik-adik juga sering kali datang untuk sekedar jalan-jalan. Berhubung profesi saya adalah pramuwisata, saya sempat beberapa kali berkunjung ke Paringan untuk memandu tamu-tamu saya dari Istana Pagaruyung.
Bagaimana cara menikmati dan meresapi keindahan Pariangan? Cara terbaik menurut saya adalah membaur bersama masyarakatnya. Jika datang ke Pariangan dan hanya menjadi turis yang datang untuk melancong saya rasa keindahan Pariangan yang anda dapatkan belumlah sempurna. Masyarakat Pariangan menurut saya adalah masyarakat yang ramah dan terbuka. Luangkan waktu untuk berbincang dengan mereka, saling bertukar cerita, dan niscaya kamu akan merasakan pengalaman berwisata terbaik di Ranah Minang. Selain itu, Pariangan memiliki banyak daya tarik wisata yang tidak akan cukup kamu nikmati satu atau dua jam saja. Nah, hal ini lah yang kemudian membuat saya dan tiga orang lainnya (Merry, Kherza dan Kuntum ) memutuskan untuk melakukan one day trip di Pariangan. Kami menjelajah semua objek wisatanya dan mendokumentasikannya satu persatu. Walau pada akhirnya kami gagal mengunjungi kesemua objek wisata akibat hujan deras mengguyur selepas Dzuhur, toh hal itu tidak membuat kami down. Kami pasti kembali lagi, itu adalah sebuah janji.
One day trip kami dilaksanakan pada Rabu, 8 Februari 2017. Kami memulainya dengan berangkat dari kota Batusangkar pada pukul 08.45 WIB dan sampai di Pariangan lebih kurang 30 menit kemudian. Ya, jarak Pariangan dari kota Batusangkar tidaklah jauh, hanya lebih kurang 15 KM, Selain itu desa ini juga dilalui jalan lintas kota yang menghubungkan kota Batusangkar dengan kota Padang Panjang serta ibu kota provinsi, Padang. Dari Bandara Internasional Minangkabau hanya dibutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan jarak tempuh 70 KM. Menemukan desa ini mudah karena gerbang besar dengan spanduk 'desa terindah' akan menyambut anda.
Rumah Gadang Datuak Maharajo Depang adalah tujuan pertama kami ketika sampai di Pariangan. Saya sudah cukup lama penasaran dengan rumah gadang ini karena tahun lalu ketika saya datang rumah ini tengah dalam tahap menunggu peresmian, saya dan rekan jalan-jalan saya kali itu tidak dapat masuk. Saya mendengar bahwa rumah gadang ini dibuka untuk umum dan memiliki galeri kecil di dalam rumahnya untuk pelancong yang mampir. Kami cukup beruntung hari itu karena tidak menunggu lama, setelah beberapa kali memanggil dan mengucapkan salam, muncul juru kunci rumah gadang tersebut yang membukakan pintu untuk kami masuk.
Namanya Nurbaiti, sehari-hari dipanggil Upik. Usianya sudah 59 tahun dan beliau tidak hanya juru kunci melainkan juga pewaris dari rumah gadang milik suku Piliang Laweh ini. Anak laki-laki dari Ibu Upik saat ini menjabat gelar Datuak Maharajo Depang.
Rumah gadang Datuak Maharajo Depang memiliki gaya Gajah Maharam dengan gonjong berjumlah. Luasnya lima ruang dan dilengkapi oleh dua buah rangkiang besar didepannya. Ada 5 bilik atau kamar tidur di dalam rumah gadang, namun saat ini rumah gadang ini tidak dihuni oleh ibu Upik. Beliau tinggal di rumah milik beliau yang berada di belakang rumah gadang. Anak lelakinya yang masih lajang lah yang kadang tidur di rumah gadang tersebut.
Interior rumah ini sangat unik. Melewati tangga kita akan menemukan jalan masuk yang dibatasi dengan palang kayu sebagai batas alas kaki sebelum memasuki ruangan utama. Di sisi kiri dan kanan dari pintu masuk terdapat lemari untuk menyimpan perkakas rumah tangga. Posisi lemari membelakangi pintu sehingga bagian belakang lemari seolah-olah menjadi dinding. Lantai ruangannya tidak dialasi tikar, dindingnya dihiasi lukisan motif floral dan juga rangkaian huruf arab gundul yang menurut Ibu Upik adalah ayat suci Alquran dan berfungsi sebagai penolak api.
Ibu Upik juga menjelaskan bahwa rumah gadang ini telah direnovasi beberapa kali. Ia mengungkapkan bahwa rumah gadang ini bahkan sudah ada sejak ia masih kecil dan sebelum direnovasi besar-besaran pada tahun 2015-2016 atas bantuan dari beberapa pihak, pada tahun 1993 tangga depan rumah dan lantainya telah diganti. Namun bangunan ini masih mempertahankan struktur aslinya, terlihat dari tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu utuh dan pasak yang menyatukan keseluruhan bangunan. Interior rumah yang dihiasi lukisan floral dan ayat-ayat suci ini juga direnovasi sesuai dengan aslinya. Terlihat ukiran dengan motif yang dipengaruhi unsur Eropa menghiasi kepala pintu bilik dari rumah gadang ini. Berhubung Ibu Upik kurang dapat menjawab semua rasa ingin tahu kami, kami lebih banyak menanyakan mengenai kunjungan wisatawan ke Rumah Gadang tersebut. Dengan bersemangat beliau pun bercerita mengenai kunjungan dari pelancong yang datang sebagai turis biasa maupun akademisi. Kebanyakan dari para akademisi adalah peneliti kebudayaan dan juga dosen serta mahasiswa arsitektur. Bu Upik juga bercerita mengenai kunjungan yang baru-baru ini dilakukan oleh salah satu universitas swasta terkenal di Jakarta.
Ini adalah sebuah lemari yang menyatu dengan dinding rumah gadang. Desainnya unik dan terdapat di dinding ujung kanan rumah.
Ibu Upik yang sudah berkenan menyambut dan mempersilakan kami memasuki rumah gadangnya.
Setelah puas bertanya-tanya kepada ibu Upik, kami pun bergegas mengambil beberapa foto agar dapat melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya.
Beberapa koleksi peralatan makan dari keramik dan tembikar yang dipajang di dalam rumah gadang.
Sesaat sebelum beranjak dari rumah gadang kami bertemu dengan nenek Rohani. Sebagai cucu-cucu yang dekat dengan neneknya (Kebetulan nenek saya dan nenek Kherza sudah meninggal) kami langsung mendekati nenek yang menurut Ibu Upik sudah berusia lebih dari seratus tahun itu. Sehat-sehat selalu ya nek ^^
FYI, memasuki rumah ini tidak dipungut biaya. Seringkali mungkin pengunjung tidak menemukan rumah ini dalam kondisi buka. Coba panggil dan ucapkan salam seperti yang kami lakukan, mudah-mudahan bu Upik sedang tidak ke sawah dan akan membukakan pintu untuk anda. Di dalam rumah tersedia buku tamu dan kotak sumbangan. Silahkan menyumbang dengan ikhlas dan semampunya untuk membantu pemeliharaan dan perawatan rumah gadang ini. Kisah jalan-jalan kami di Pariangan akan bersambung di postingan berikutnya. Happy Travelling, people!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar