Selasa, 14 Februari 2017

Jelajah Pariangan Part 5 : Mesjid Ishlah


Mesjid Ishlah Nagari Tuo Pariangan adalah tujuan kami berikutnya setelah puas berfoto-foto singkat di komplek rumah gadang suku Piliang. Dari Komplek rumah gadang suku Piliang, lokasi mesjid ini tidaklah jauh. Kami mengambil jalan menurun menuju lokasi makam Datuak Tantejo Gurhano dan berbelok ke  kanan didepannya. Jalan tembok yang cukup lebar tersebut menuntun kami langsung ke halaman mesjid yang sudah berusia ratusan tahun ini.


Dahulu sekali saya pernah ke mesjid ini saat acara Kemah Bakti Siswa (KBS) zaman SMA. Akan tetapi saya tidak memasuki mesjid ini, hanya numpang mandi di tapian (tempat mandi komunal) air panas yang ada disini. Ya, salah satu hal yang membuat mesjid ini unik adalah keberadaan sumber mata air panasnya. Tidak hanya di tapiannya saja, air panas juga mengaliri  'banda' di samping mesjid. Hal ini baru saya ketahui ketika memandu rombongan keluarga dari Malaysia ke Mesjid ini. Petugas mesjid yang menyambut kami dengan senang hati bercerita sedikit banyak tentang sejarah mesjid dan sumber mata air panasnya. 

Setelah memarkir sepeda motor di halaman mesjid, tepat di sebelah warung sate, kami langsung menuju tangga mesjid untuk melepas sepatu dan menggantinya dengan tangkelek yang disediakan untuk dipakai pergi berwudhu. Tidak tersedia toilet dan tempat berwudhu di dekat mesjid seperti mushola dan mesjid kebanyakan. Kami harus menuju tapian untuk berwudhu. Di dalam tapian ini sudah dibagi beberapa bagian, untuk mandi dan mencuci, untuk toilet dan juga untuk berwudhu. Nah, tempat berwudhunya berada paling dekat dengan pintu masuk. Sebelum berwudhu tes dulu airnya ya, karena terdapat dua jenis air disini, air yang berasal dari sumber mata air panas dan air sejuk.

Setelah selesai sholat zuhur, pada waktu itu sudah lewat pukul satu siang sehingga hanya kami dan satu dua orang lainnya yang sholat di mesjid ini, kami merapikan mukena yang kami pinjam dan mengembalikannya ke tempatnya. Sambil merapikan jilbab, saya mengingat-ingat sudah berapa kali saya menyambangi mesjid ini. Jika waktu SMA saya hanya mampir ke tapiannya saja, maka untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di mesjid ini adalah pada tahun 2011. Kala itu saya yang masih bekerja sebagai reporter media lokal Medan mengambil cuti pulang kampung untuk menghadiri pernikahan sepupu. Sang redaktur meminta saya sekalian menulis artikel wisata kampung halaman saya. Saya meliput beberapa objek wisata populer di Tanah Datar kala itu dan memasukkan Nagari Tuo Pariangan sebagai salah satu destinasi yang wajib dikunjungi.  Saat abang sulung saya, Tommy, mempersunting gadis manis asal Pariangan mereka melangsungkan akad nikahnya di mesjid ini. Kedatangan saya berikutnya adalah sebagai pemandu wisata, 2014 saya membawa tamu dari Malaysia, 2015 saya membawa tamu dari Belanda dan di tahun 2016 saya membawa tamu dari Jakarta.  

Tidak ada yang berubah dari mesjid ini selama kurun waktu tersebut, dari beberapa sumber yang saya akses di internet, mesjid ini baru dua kali mengalami perbaikan dan pemugaran, yaitu pada tahun 1920 dan 1994. Saya tidak menemukan tulisan mengenai kapan pastinya mesjid ini dibangun, namun masyarakat setempat mempercayai bahwa mesjid ini adalah mesjid tertua dan pertama di desa mereka. Jika memang demikian berarti bangunan mesjid awalnya adalah bangunan kayu beratap ijuk. Dari buku Mesjid-Mesjid Bersejarah di Indonesia karya Abdul Baqir Zein yang saya akses dari google books disebutkan bahwa mesjid ini didirikan pada awal abad ke-19 atas prakarsa Syekh Burhanuddin dengan persetujuan dari Tuangku Nan Barampek yaitu Tuangku Labai, Tuangku Katik Basa, Tuangku Aji Manan dan Tuangku Kali Bandar. Pembangunan mesjid ini melibatkan banyak tukang dengan dipimpin oleh Datuk Garang.

Mesjid ini berukuran 16 x 24 meter dengan ditopang oleh 4 tiang kayu Andaleh. Atapnya berbentuk tumpang bertingkat empat yang semakin mengecil ke puncaknya. Menurut beberapa sumber yang pernah saya dengar dan saya baca, Mesjid ini dikelilingi oleh 7 buah surau. Masing-masing surau adalah milik 7 suku yang mendiami Pariangan. Setiap suku juga memiliki tapian tersendiri. Tidak hanya itu beberapa minggu yang kewat ketika menghadiri sebuah acara di BPCB Sumbar yang berkantor di Pagaruyung saya juga mengetahui keberadaan batu tigo lantak dan keberadaan 3 tarekat di sekitar mesjid. Batu tigo lantak adalah tiga buah batu yang berada tidak jauh dari bangunan mesjid. Masing-masing batu disebut mewakili tiga luhak yaitu Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Koto. Tiga tarekat yang disebut berada di Pariangan adalah Samaniah, Satariah dan Naqsabandiyah. Ketiga tarekat ini telah lama ada di Nagari Tuo Pariangan dan hidup berdampingan secara damai di Mesjid Tuo Pariangan.

Setelah kami selesai sholat dzuhur, kami menyempatkan diri berfoto di dalam mesjid. Tidak lama, hanya secukupnya saja untuk dokumentasi selain itu saya memiliki beberapa stok foto lama mesjid ini dari kunjungan-kunjungan sebelumnya. Selesai berfoto di dalam mesjid, kami memutuskan untuk mengambil foto Mesjid secara keseluruhan. Lokasi yang sering digunakan adalah dari lapangan kecil yang ada di dekat lokasi prasasti Adityawarman. Ya, di dekat mesjid ini juga terdapat prasasti peninggalan Adityawarman yang sudah sangat aus dan tidak dapat terbaca lagi. Jadi saya tidak akan begitu membahas prasasti ini, tapi berikut adalah sekilas penampakan prasasti tersebut dan foto-foto ini saya ambil tahun 2011 silam, hehe.

Posisi mesjid ini lebih rendah dari pada pemukiman warga, tapi sangat strategis karena dekat dengan jalan raya. Bagi penduduk Pariangan yang ingin mengakses mata air panas, mereka harus menempuh perjalanan naik turun tangga ini setiap harinya. Saya tidak pernah sempat menghitung berapa jumlahnya, yang pasti jumlanya ratusan atau bahkan menyentuh angka ribuan. 




Sayangnya, begitu kami bergerak untuk mendaki anak tangga yang akan membawa kami menuju prasasti hujan deras turun mengguyur Pariangan. Rupanya langit yang dari tadi menahan diri dengan menyicil turunnya hujan sudah tidak tahan lagi. Kami pun terjebak di warung sate yang ada di depan mesjid. Berhubung kami sudah makan siang di puncak mortir, kami pun memutuskan untuk membeli carocok saja. Apa itu carocok? Carocok adalah cara lain menikmati sate di kampung halaman kami. Daun pisang atau kertas pembungkus dibentuk menjadi kerucut dan kemudian diisi sate, kerupuk dan kuah. Mode carocok ini sangat hemat dikantong dan praktis dibawa makan sambil berjalan (Ini sih kebiasaan waktu masih kecil dulu).Di warung sate ini kami memesan empat buah carocok dan kerupuk. Si Ibu yang baik hati memberi kami 3 tusuk sate daging sapi dengan sebungkus kecil kerupuk. Harganya hanya Rp 5000 per carocok. Rasanya? Enyakkkkk.


Tiga puluh menit kemudian barulah hujan reda. Tanpa buang-buang waktu, kami langsung menuju lokasi berfoto incaran kami.



 Di foto ini terlihat empat tiang utama mesjid yang disumbangkan oleh Tuangku Nan Ampek.



Foto-foto yang di Mesjid diambil sebelum kami diguyur hujan 



Dua foto berikut ini saya ambil pada tahun 2011. Terlihat bahwa tidak ada perubahan sama sekali di Mesjid ini, kecuali jumlah warung di halaman mesjid bertambah dan pengunjung mesjid ini dari luar kota semakin banyak. Foto ini diambil ketika cuaca cerah dan gunung Marapi terlihat jelas dibelakangnya.



Happy Travelling, people !

Note : Silakan kunjungi link berikut untuk bahan bacaan mengenai mesjid-mesjid kuno di Minangkabau :

google books

ulama-minang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar