"Indak jauah do, paliang saratuih meter dari mushola tampek mamarkir onda beko."
"Tidak jauh kok, paling hanya seratus meter dari mushola tempat memarkir sepeda motor nanti."
Kalimat si Bapak pemilik warung di Puncak Mortir lah yang mendorong kami bersemangat untuk menyambangi air terjun yang menjadi andalan pariwisata Jorong Guguak selain panoramanya yang indah. Hanya seratus meter, bayangkan. Jika sedekat itu akan sangat sayang sekali jika kami tidak mampir. Walau awalnya kami terburu-buru mengingat waktu sudah hampir menunjukkan pukul 12.00 WIB siang dan trekking ke air terjun tidak termasuk dalam daftar jelajah kami hari itu, toh kami akhirnya mengubah rencana dan mengarahkan sepeda motor kami menuju lokasi air terjun yang berada semakin ke dalam Jorong Guguak, dimana pemukiman penduduk semakin jarang dan yang kami temui hanya kebun dan sawah milik warga.
Dari panorama Jorong Guguak kami berkendara melalui jalan menanjak yang membawa kami ke sebuah persimpangan. Sesuai informasi dari si Bapak, kami berbelok ke kiri dan memasuki jalan kecil perkampungan. Kami pun sempat melewati sebuah guest house disini. Saya berniat memotret guest house ini saat pulang dari air terjun, namun gagal karena kami keburu diguyur hujan nantinya.
Kami pun sampai di sebuah mushola yang menjadi batas akhir dari jalan bersemen di kampung itu. Sebelumnya si Bapak dari warung di Puncak Mortir menginformasikan bahwa terdapat jasa pemandu untuk menuju air terjun. Tarifnya tidak ditetapkan, seperti kebanyakan objek wisata lainnya di Pariangan, pengunjung cukup memberikan tips, besarannya sesuai kemampuan dan apresiasi jasa pemandu tersebut. Menurut si Bapak minimal memberi Rp 15000 untuk pulang balik air terjun. Sayangnya, kami tidak menemukan keberadaan pemandu sama sekali disini.
Karena ingin menghemat waktu kami memutuskan untuk lanjut berjalan menyusuri jalan setapak, toh katanya hanya berjarak seratus meter. Saat itu lah kami disapa oleh pemilik rumah di belakang mushola. Seorang perempuan paruh baya penyandang disabilitas. Ia menanyakan tujuan kami dengan ramah. Kami pun menjawab bahwa kami hendak menuju ke air terjun dan menanyakan seberapa jauh jarak air terjun tersebut dari musholla. Benar saja, jawaban si Ibu membuat kami kaget. "Tigo puluah minik lah sampai aia najun tu," ujar si Ibu. Butuh waktu tiga puluh menit untuk berjalan hingga mencapai air terjun.
Ibu tersebut sempat bercerita bahwa ia mengalami kelumpuhan setelah mengalami kecelakaan. Entah sudah berapa lama, kami tidak sampai hati untuk menanyakannya. Hunian sang Ibu berupa rumah panggung bermaterial kayu dengan ukuran kira-kira 4 x 4 meter. Walau terlihat masih kokoh, rumah ini sudah tua dan lapuk. Terlihat sekilas peralatan rumah tangga seadanya tergelatak di lantai dan seorang perempuan tua lainnya duduk ditengah keremangan rumah.
Karena sedang dikejar waktu mengingat saya harus sudah di Batusangkar lagi pada pukul 14.30, kami pun berpamitan kepada si Ibu dan bergegas berjalan menyusuri jalan setapak. Dalam hati kami berniat untuk singgah lagi di rumah si Ibu sehabis dari air terjun.
Setelah melewati rumah terakhir dan berjalan melalui kebun milik warga, kami bertemu dengan seorang Bapak yang tengah membawa batang kulit manis di kepalanya. Kami menanyakan perihal air terjun dan pemandu menuju kesana. "Alah pai nyo tadi, alun lamo ko. Taruih se jalan nak, turun ka banda tu luruih," jawab si Bapak. Bapak menginformasikan bahwa pemandu terakhir telah berangkat dan kami pun disarankan untuk terus saja melanjutkan perjalanan dengan menyusuri banda - parit air. Mudah-mudahan kami dapat menyusul pemandu yang telah lebih dahulu berangkat.
Dengan bersemangat kami pun melanjutkan perjalanan menelusuri banda. Sayup-sayup saya mendengar suara deru air terjun yang semakin meyakinkan saya bahwa lokasi air terjun ini tidaklah jauh. Jika mustahil dan sudah terbantahkan bahwa jaraknya 100 meter, paling tidak 500 meter. Namun apa yang terjadi? Tanpa sadar kami sudah berjalan cukup jauh dan lama. Parit yang kami susuri awalnya hanya parit tanah, kemudian berubah jadi parit yang ditembok hingga sampai ke hulu parit sekaligus tepian sungai kecil.
Oke, sekarang kami sudah masuk hutan. Suara air terjun yang awalnya sempat terdengar oleh saya pelan-pelan menghilang. Ada sedikit keraguan untuk melanjutkan perjalanan, apalagi kami hanyalah empat orang perempuan tanpa pemandu dan tanpa pengetahuan survival di alam liar sama sekali. Tapi karena penasaran, kami pun memaksakan diri untuk terus mengikuti sungai dan mendaki bebatuan yang licin. Saya sudha hampir menyerah ditengah-tengah perjalanan. Bukan karena air terjunnya tak kunjung tampak, tapi karena kami benar-benar di hutan yang asing dan langit yang awalnya cerah berubah gelap. Kalau kata pepatah nenek moyang orang Minangkabau, gabak di hulu tando ka hujan, cewang di langik tando ka paneh. Gabak berarti awan hitam, sedangkan cewang berarti awan terang atau awan sirus. Gabak di hulu pertanda akan hujan, sementara cewang di langit pertanda hari akan cerah.
Berbagai skenario terburuk melintas di benak saya. Apa jadinya jika hujan benar-benar sudah turun di hulu dan air bah akan datang menghantam kami. Namun kekhawatiran itu sedikit pupus ketika langit kembali cerah. Cuaca hari itu memang tidak dapat diprediksi. Kherza adalah yang paling berjasa dalam memompa semangat kami, khususnya sih saya yang termasuk golongan pesimis. Maklum, saya yang tertua diantara kami berempat. Sebisa mungkin sebagai yang lebih dewasa, saya dapat mengambil keputusan yang bijak dalam perjalanan ini.
Semakin dalam masuk ke hutan dan semakin jauh kami mengikuti arah datangnya aliran sungai, kami kembali mendengar suara air terjun. Dan benar saja, kami melihat deretan bangku dari bambu dan tenda-tenda pedagang. Saat kami sampai tepat di lokasi, kami hanya menemukan areal kosong. Suara air terdengar, tapi air terjunnya tidak terlihat. Dan lagi-lagi kami menjadi the only human di objek wisata tersebut. Saya langsung mengambil kesimpulan bahwa debit airnya tidaklah besar, dan air terjunnya tengah hiatus. Kherza lagi-lagi muncul untuk mematahkan kepesimisan saya. "Ada kak air terjunnya, tadi Kherza lihat. Dibalik batu itu lho."
Dan benar saja, air terjun ini bersembunyi di balik ceruk bukit berbatu. Kami pun mendekat dan menyaksikan gemericik suara air yang sayup-sayup kami dengar dalam perjalanan menuju kemari. Airnya jernih dan sejuk. Tinggi air terjun ini mungkin mencapai 8 - 10 meter. Kami pun langsung mengucap syukur dan tertawa lepas. Akhirnya kami menemukan apa yang kami cari.
Ditengah kebahagiaan kami, langit kembali berubah. Kali ini awan mendung semakin menutupi cahaya matahari. Saya sedikit kelabakan mengatur setting-an kamera. Dengan terburu-buru saya meminta Kuntum, Kherza dan Merry untuk berfoto secukupnya. Kali ini saya benar-benar khawatir hujan akan benar-benar turun dan kami terjebak di hutan tanpa pamandu dan tanpa pengetahuan yang memadai tentang tanda-tanda alam.
Dan lagi-lagi langit mempermainkan kami. Jika sesaat sebelumnya langit gelap dan menurunkan sedikit gerimis hujan, maka begitu kami bergerak meninggalkan air terjun, kami kembali disirami cahaya matahari. Akan tetapi kami sudah cukup puas berfoto, kecuali saya yang tidak mendapat kesempatan berfoto sama sekali karena dikuasai oleh rasa takut.
Kami pun kembali dengan hati puas. Rasanya sangat luar biasa ketika kamu berhasil menaklukkan rasa takut dan kepesimisan. Perjalanan kami hari itu memberikan pelajaran berharga, it ain't over till it's over. Saya bersyukur bahwa kami tidak benar-benar menyerah sebelum melihat air terjun yang kami cari. Bayangkan kalau kami menyerah dan pulang dengan tangan hampa. Dan apa jadinya ketika sudah sangat dekat saya dengan ceroboh menyimpulkan air terjunnya kering?
Dalam perjalanan kembali ke lokasi kami memarkir sepeda motor, kami bertemu sekali lagi dengan Bapak yang berpapasan dengan kami di awal keberangkatan. Si Bapak ramah yang menyapa kami dengan beban berat dikepalanya. Kami pun berbincang sebentar dengan Bapak bernama Radisun ini mengenai air terjun yang baru saja kami kunjungi. Air terjun yang kami kunjungi boleh dibilang tidak memiliki nama khusus. Ia hanya disebut Aia Najun, yang berdasarkan asumsi saya berasal dari kata Aia (air) dan tajun (terjun), penyebutannya berubah sesuai dengan dialek lokal menjadi Aia Najun. Dari Bapak Radisun pula lah kami mengetahui bahwa air terjun tersebut bersumber dari mata air gunung. Masih menurut pak Radisun debit airnya tidak pernah terlalu besar sampai mengakibatkan air bah atau banjir bandang. Dan sungai yang mengalirkan air dari mata air tersebut disebut oleh warga setempat Batang Bangkaweh. Wah, kami sangat bersyukur dipertemukan dengan masyarakat yang ramah dan menyambut kami dengan tangan terbuka di Pariangan.
Oh ya, Rupanya kebun yang kami lalui adalah kebun milik pak Radisun. Beliau menanam macam-macam tanaman disini, salah satunya adalah kopi. Biasanya sih jenis kopi yang ditanam di daerah kami adalah robusta. Beliau tidak mengolah sendiri kopi yang dipanen, semuanya langsung di jual di Pasar atau Balai (Pasar mingguan atau hari pekan) Simabua atau dibawa ke Pasar yang lebih besar di kota Padang Panjang.
Oh ya, Rupanya kebun yang kami lalui adalah kebun milik pak Radisun. Beliau menanam macam-macam tanaman disini, salah satunya adalah kopi. Biasanya sih jenis kopi yang ditanam di daerah kami adalah robusta. Beliau tidak mengolah sendiri kopi yang dipanen, semuanya langsung di jual di Pasar atau Balai (Pasar mingguan atau hari pekan) Simabua atau dibawa ke Pasar yang lebih besar di kota Padang Panjang.
Setelah berpamitan dengan Bapak Radisun, kami pun kembali ke tempat kami memarkir sepeda motor. Sebelum meninggalkan lokasi, kami berpamitan dengan Ibu yang tinggal di belakang Mushola dan meninggalkan sedikit tanda terima kasih karena sudah mengawasi sepeda motor kami yang terparkir di dekat rumahnya. Baru saja kami memasang helm, hujan akhirnya benar-benar turun juga. Terima kasih langit karena sudah menahan diri demi terciptanya perjalanan penuh makna kami.
Selanjutnya kami akan mampir di sebuah komplek rumah gadang yang belakangan hits karena dijadikan lokasi syuting film layar lebar. Tunggu ceritanya di postingan selanjutnya ya. Akhir kata, enjoy Pariangan, guys!
Note : Sangat disarankan untuk melakukan perjalanan menuju air terjun ini dengan ditemani pemandu mengingat kita akan menyusuri sungai dan memasuki hutan. Jika tidak ada pemandu, jangan ragu untuk bertanya kepada warga di sekitar lokasi. Mereka ramah-ramah lho, mungkin salah seorang diantara mereka bisa menemani anda menuju air terjun.
Hal lain yang saya sadari dari trip ini adalah kurangnya kesadaran pengunjung dan pengelola akan kebersihan. Di sepanjang sungai saya menemukan cukup banyak sampah plastik, sementara di dekat air terjun dibangun warung-warung yang tidak memperhatikan tata letak yang baik. Terdapat dua buah warung yang berdiri terlalu dekat dengan posisi air terjun sehingga cukup mengganggu pemandangan. Padahal di lereng bukit sekitar 10 meter sebelum air terjun dapat didirikan warung atau tenda yang tidak akan mengganggu kenyamanan pengunjung menikmati air terjun secara visual atau pun dengan berenang dan bermain airnya yang jernih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar