pict source http://coldwaterstoathirstysoul.wordpress.com
“Cerita ini
terjadi pada zaman dahulu kala di Yunani, tempat banyak hal indah terjadi.
Sebelum itu orang-orang belum pernah mendengar tentang ciuman. Dan, peristiwa
itu terjadi hanya dalam sekejap mata. Seorang pria menuliskannya dan semenjak
itu, cerita itu pun menjadi abadi.
“Ada seorang
gembala bernama Glaucon-seorang gembala muda yang tampan- yang tinggal di
sebuah desa kecil bernama Thebes. Desa itu kelak menjadi kota yang sangat besar
dan tersohor, tapi pada saat itu masih desa kecil yang sunyi dan sederhana.
Terlampau sunyi untuk Glaucon. Ia menjadi bosan dan ingin pergi jauh dari rumah
dan melihat dunia luar. Lalu, Ia pun mengambil ransel dan tongkat gembalanya,
lalu pergi berkelana sampai ke Thessaly. Negeri ini adalah tempat bukit para dewa
berada. Namanya Bukit Olympus. Tapi, bukit ini tidak ada kaitannya dengan
cerita ini. Cerita ini terjadi di gunung yang lain, Gunung Pelion.
“Glaucon bekerja
pada seorang pria kaya raya yang memiliki banyak binatang ternak. Setiap hari
Glaucon harus menggiring ternaknya ke sebuah padang rumput di Gunung Pelion,
dan mengawasi mereka makan. Tidak ada lagi yang harus dilakukan, dan ia merasa
waktu berjalan begitu lambat jika ia tidak memainkan serulingnya. Oleh karena
itu, ia sering memainkan serulingnya dengan indah, sambil duduk di bawah pohon
dan memandangi lautan biru nun jauh di sana, serta berpikir tentang Aglaia.
“Aglaia adalah
anak perempuan tuannya. Gadis itu sangat manis dan cantik sehingga Glaucon
jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama. Saat ia sedang tidak meniup
serulingnya di gunung, ia selalu memikirkan Aglaia dan berkhayal suatu saat ia
akan memiliki kawanan ternak sendiri, serta sebuah rumah kecil di lembah tempat
ia dan Aglaia tinggal.
“Aglaia juga
jatuh cinta pada Glaucon seperti halnya pria itu terhadapnya. Tapi, ia tidak
pernah membiarkan Glaucon tahu perasaannya, dan itu berlangsung dalam kurun
waktu yang lama. Glaucon tidak tahu kalau Aglaia diam-diam sering bersembunyi di balik bebatuan di dekat
ternak yang sedanng makan di padang rumput, untuk mendengarkan Glaucon
memainkan musik yang indah. Musik itu sangat indah karena setiap kali
memainkannya, Glaucon selalu berpikir tentang Aglaia dan membayangkan gadis itu
ada di dekatnya.
“Namun tak lama
kemudian, Glaucon mengetahui bahwa Aglaia juga mencintainya, dan semua hal pun
berlangsung indah. Pada zaman sekarang, kuarasa pria kaya seperti ayah Aglaia
tidak akan mengizinkan anaknya menikahi seorang pekerja upahan. Tapi , itu
adalah abad keemasan, ketika hal itu sama sekali bukan masalah.
“Setelah itu
hampir setiap hari Aglaia pergi ke gunung dan duduk di samping Glaucon sambil
mengawasi ternaknya dan memainkan serulingnya. Namun, Glaucon tidak lagi
bermain seindah seperti sebelumnya, karena ia lebih suka berbincang dengan
Aglaia. Pada malam itu mereka menggiring ternak bersama-sama.
“Pada suatu hari
Aglaia pergi ke gunung melalui jalan yang lain dan ia tiba di sebuah sungai
kecil. Ia melihat ada sesuatu yang berkilauan diantara batu kerikil di sungai.
Aglaia mengambilnya dan mendapatkan
benda itu adalah sebuah batu kecil indah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ukurannya hanya sebesar kacang polong, tapi batu itu berkilauan dan memancarkan warna-warna pelangi saat
ditimpa sinar matahari. Aglaia begitu gembira sehingga ia memutuskan untuk
memberikan batu itu sebagai hadiah bagi Glaucon.
“Namun, tiba-tiba
Aglaia mendengar suara langkah kaki berdebum di belakanganya, dan saat berbalik
ia menjadi ketakutan setengah mati. Di
hadapannya, berdirilah Dewa Agung Pan. Dewa ini berbentuk makhluk yang sangat
mengerikan dengan wujud yang lebih menyerupai kambing ketimbang manusia. Kalian
tahu dewa tidak selamanya berwujud indah. Dan baik indah maupun tidak, tidak ada yang pernah menginginkan
berhadapan muka dengan mereka.
“’Berikan batu
itu kepadaku,’ kata Pan seraya menjulurkan tangannya.
“Tapi, meskipun
ketakutan, Aglaia tidak mau memberikan batu itu kepadanya.“’Aku mau
memberikannya kepada Glaucon,’ jawabnya.
“’Aku mau
memberikannya kepada peri hutanku,’ Pan berkata,’dan aku harus mendapatkannya.’
“Ia melangkah
maju untuk mengancam Aglaia, tapi Aglaia berlari sekencang-kencangnya ke
gunung. Jika ia bisa mencapai Glaucon, pria itu akan melindunginya. Pan
mengejarnya, menggeram, dan berteriak marah dengan suara yang mengerikan, tapi
beberapa menit kemudian Aglaia sudah menghambur ke pelukan Glaucon.
“Wujud Pan sangat
mengerikan, belum lagi suaranya menggelegar, membuat ternak ketakutan dan
berlari ke segala arah. Tapi, Glaucon sama sekali tidak takut karena Pan adalah
dewa ternak yang punya klewajiban untuk mengabulkan doa para gembala yang baik.
Ia selalu menjalankan kewajibannya seberat apa pun itu. Jika Glaucon bukan
gembala yang baik, entah apa yang terjadi pada dirinya dan Aglaia. Namun,
ketika Glaucon memohon kepada Pan untuk pergi meninggalkan mereka dan tidak
pernah menggangyu Aglaia lagi, Pan terpaksa pergi meski sambil menggerutu
dengan suara yang menyeramkan. Namun yang penting, Pan sudah meninggalkan
mereka.
“’Nah sayangku,
ada masalah apa sebenarnya?’ tanya Glaucon. Aglaia pun menceritakan kejadian
yang dialaminya.
“’Tapi, dimana
batu yang indah itu?’ tanya Glaucon, saat cerita Aglaia selesai. ‘Kau tidak
menajtuhkannya saat berlari ketakutan tadi bukan?’
“Tidak, Aglaia
sama sekali tidak menjatuhkannya. Saat ia mulai berlari, ia memasukkannya ke dalam
mulutnyab dan benda itu masih berada di
sana dalam keadaan aman. Lalu, ia mengeluarkan batu itu disela bibir merahnya.
Batu itu berkilauan ditimpa sinar matahari.
“’Ambillah,’
bisik Aglaia.
“Pertanyaannya
adalah, bagaimana cara Glaucon mengambilnya? Kedua tangan Aglaia saat itu
berada dalam dekapan Glaucon, dan jika Glaucon melepaskannya pria itu takut
Aglaia akan jatuh karena tubuhnya begitu lemah dan gemetaran karena takut.
Lalu, Glaucon menemukan gagasan yang cemerlang. Ia akan mengambil batu indah
itu dari bibir Aglaia dengan bibirnya.
“Ia pun
merunduk hingga bibirnya menyentuh bibir
Aglaia. Glaucon pun melupakan batu indah itu, begitu pula Aglaia. Ciuman pun
ditemukan!”
Dikutip dari The Story Girl, versi terjemahan oleh
Bentang Pustaka, Bab 18 halaman 184-188.
pict source : multiply.com
The Story Girl
adalah sebuah novel yang ditulis oleh Lucy M. Montgomery. Ia adalah penulis
yang juga merilis karya klasik legendaris Anne of Green Gables. Di bagian
biografi pengarang yanga ada di novel ini juga dijelaskan bahwa novel ini
adalah favorit dari Montgomery karena karakter Sara Stanley a.k.a The Story
Girl adalah karakter yang memiliki kesamaan dengan pribadi Montgomery sendiri.
Ditulis di tahun 1911, The Story Girl memiliki sekuel dengan judul The golden
Road.
The Story Girl
dituturkan melalui sudut pandang orang pertama tunggal, Beverly King, seorang
anak laki-laki berusia 13 tahun. Ia dan adiknya yang gemuk, Felix King, harus
melewatkan satu musim tinggal di rumah tua keluarga King di Carlisle, Pulau Prince Edward, Kanada. Hal ini
dikarenakan ayah mereka harus bekerja di Rio de Jenairo dan ibu mereka telah
lama meninggal saat mereka bahkan belum mampu untuk mengingat wajahnya.
Di rumah tua
keluarga King tinggal Paman mereka Alec, dan istrinya Janet. Mereka memiliki
tiga orang anak. Yang sulung laki-laki bernama Donald King, sebaya dengan
Beverly. Ia adalah anak laki-laki dengan karakteristik umum, bandel, keras
kepala namun memiliki pikiran yang
sangat logis dan praktis. Adiknya
Felicity King, berusia 12 tahun, adalah gadis cantik yang sadar betul akan
kecantikannya. Sedikit angkuh namun Felicity adalah koki yang paling hebat di
antara mereka dan sangat menyukai pekerjaan rumah tangga. Terakhir si bungsu
Cecile King, gadis 11 tahun yang pemalu dan religius. Ia rutin berdoa dan
menabung jajannya untuk disumbang ke badan amal dan aktifitas gereja. Ia
terlihat lemah namun di saat kritis sesungguhnya Cecile lah yang paling tegar
dan dapat diandalkan.
Selain 3 bersaudara putra putri Alec dan Janet King,
ada Peter. Pekerja upahan yang membantu
paman mereka, Roger King, untuk melakukan berbagai pekerjaan di rumah dan lahan
pertanian. Ia pemuda 14 tahun yang
tampan dan berkharisma. Meskipun setiap hari ia harus bekerja membanting
tulang di ladang dan mengenakan pakaian kumal dan celana bertambal serta
berkeliaran tanpa alas kaki, Montgomery mendeskripsikan Peter sebagai anak
laki-laki yang cerdas dan kritis. Ia adalah salah satu karakter yang saya sukai
mengingat sifatnya yang terkadang kritis tapi dalam sekejap ia bisa menjadi
seseorang yang mistis dan mempercayai eksistensi sihir. Peter adalah anak
laki-laki yang menghadapi pilihan dilematis dalam hidupnya. Dalam The Story
Girl diceritakan bahwa Peter bingung
harus menganut aliran Kristen apa, presbiterian datau metodist, sampai akhirnya
ia keceplosan berkata bahwa ia memilih
presbiterian agar bida masuk surga yang sama dengan teman-temannya sehari
sebelum isu kiamat terjadi.
Another character
adalah Sara Ray. Gadis ini merupakan alasan mengapa ada nama julukan The Story
Girl untuk Sara Stanley. Sara Ray adalah gadis 11 tahun sahabat Cecile. Sama
halnya dengan Cecile, Sara Ray adalah gadis pemalu dan religius. Namun ia
sedikit paranoid dan cengeng. Hobinya adalah cemas dan menangis sehingga
beberapa diantara King bersaudara sangat sebal jika Sara Ray sudah mulai
menunjukkan tanda-tanda melankolis.
Terakhir, Adalaha
Sara Stanley, The Story Girl. Julukan itu bermula dari adanya dua Sara dalam
lingkungan anak-anak Carlisle. Sara Ray dan Sara Stanley. Agar tidak canggung
dan menghindari salah panggil, Sara Stanley dipanggil dengan julukannya, The
Story Girl. Ia menyukainya karena ia sendiri sepertinya tidak menyukai nama
Sara Stanley. Gadis ini sangat unik dan mempesona. Ia gemar bercerita dan
mendongeng dengan penghayatan luar biasa. Suaranya indah dan membuat setiap orang yang mendengarkannya
terhipnotis dengan jalinan cerita serta karakter yang muncul di dalamnya.
Selagi mendongeng, The Story Girl bisa menjadi karakter apa pun dalam
ceritanya, hantu keluarga King, ular
berbisa bahkan putri raja. Kehebatan The
Story Girl sudah terkenal di seantero Carlisle dan keluarga King dimana pun
mereka berada.
Novel The Story
Girl adalah kisah tentang anak-anak biasa dengan imajinasi luar biasa. Meskipun buku ini adalah buku anak-anak, saya
rasa anak belasan tahun tidak akan mudah mencerna ceritanya. Saya menemukan
banyak humor cerdas di dalamnya. Baik itu melalui narasi Beverly, maupun dari
kisah-kisah yang dituturkan Sara Stanley, The Story Girl. Kepolosan dan kenaifan
anak-anak dalam memandang berbagai hal di dunia ini ditulis dengan jenaka dan
cerdas oleh Montgomery. Saya gemas membaca pertanyaan-pertanyaan Peter
mengenai perbedaan Presbiterian dan
Metodist, pandangan anak-anak ini mengenai surga dan apa yang terjadi di
dalamnya, sistem kelas dalam masyarakat, seksualitas dan bagaimanakah rupanya
kematian itu. Melalui pola pikir
kanak-kanak, topik ‘berat’ ini jadi terasa lucu dan menghibur. Bukan sesuatu
yang mesti kita bahas secara ilmiah, tapi pandangan polos mereka membuat kita tersentil dengan rumitnya dunia yang kita tinggali ini.
Di Indonesia, novel ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka dan Gramedia Pustaka. Novel yang saya miliki adalah versi Bentang Pustaka. Covernya kurang menarik sebenarnya, dan setelah membaca keseluruhan isi buku, saya jadi bertanya-tanya siapa pria kulit hitam yang ada di cover novel ini? Karena di dalam novelnya tidak ada memunculkan karakter kulit hitam, hahaha. Tapi terjemahannya lumayan enak dibaca, meski di beberapa paragraf saya menemukan kata-kata dan kalimat yang membuat saya mengernyitkan kening saat membaca.
Lucy Maud Montgomery, atau yang lebih dikenal sebagai LM Montgomery, pict source factfictionandeverything.blogspot.com
Happy Reading ^^/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar