Cinta itu egois, sayangku.
Dia tidak mau berbagi.
Windry Rahmadina adalah salah satu novelis roman perempuan yang saya sukai. Pertama membaca karyanya yang berjudul Orange di tahun 2009, saya langsung jatuh cinta pada bagaimana cara Windry menuliskan deskripsi ruang dan waktu dalam kisah novelnya. Sangat jarang saya temui penulis roman pop yang memiliki hal ini. Sebagian penulis cenderung berfokus kepada deskripsi karakter secara visual dan dialog-dialog yang ceplas-ceplos dan cepat. Dan yah satu lagi, perasaan yang mendayu-dayu. Seperti membaca curhat perempuan galau dalam bentuk novel. Hebatnya, Windry menurut saya berhasil menggabungkan keseluruhannya dalam tulisannya.
Novel Memori by Windry sudah lama saya tunggu-tunggu. Karena bosan dengan bacaan novel pop yang belakangan terkena Korean Wave (cukup Ilana Tan dan Ria N Badaria saja yang saya baca), Memori memberi angin segar bagi saya yang belakangan mulai melarikan diri dengan membaca novel-novel klasik.
Kisah ini dibuka dengan deskripsi mengenai sebuah rumah impian yang disebut sebagian arsitek Romantic Home. Saya yang buta dengan hal-hal bernama arsitektur dan desain interior bisa dibuat terpesona dengan deskripsi Windry. Saya suka bagaimana sebuah sepatu satin di anak tangga bisa menjadi begitu indah dan romantis. Apalagi kalau warnanya Merah. Haha
Mahoni, tokoh utama perempuan dalam Memori, adalah seorang arsitek yang bekerja di seuah biro arsitek di Virginia, USA. Nama Mahoni berasal dari nama sebuah pohon yang memiliki kualitas kayu yang bagus sebagai bahan baku furnitur. Wajar jika ia dinamai seperti nama pohon, mengingat Ayahnya, pria yang sangat dikaguminya sekaligus dibencinya, adalah seorang pengrajin furnitur kayu.
Suatu ketika, sebuah kabar duka mengguncang harinya dan memaksanya kembali ke Jakarta. Ayahnya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas bersama istri keduanya, Grace. Grace adalah alasan Mahoni membenci sosok yang dahulu dikaguminya. Grace, bagi Mahoni, telah merebut kebahagiaannya dan ibunya. Setelah berpisah dengan ibunya, Ayah Mahoni menikah dengan Grace. Mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Sigi. Bertambah alasan Mahoni membenci Ayahnya. Sigi adalah sebutan lain untuk pohon Damar. Pohon yang paling disukai Ayahnya.
Karena Grace tidak memiliki kerabat lain, dan keluarga dari pihak Ayahnya juga tidak ada yang bisa merawat Sigi yang masih berusia 16 tahun, Mahoni terpaksa tinggal di Jakarta sampai Ia dan Om Ranu, adik Ayahnya, menemukan solusi untuk masa depan Sigi.
Ternyata, peristiwa ini membawa Mahoni untuk bertemu kembali dengan pria dari masa lalunya. Pria yang pernah menggenggam tangannya, dan ia memilih untuk melepaskannya. Simon Marganda. Singkat cerita Mahoni bekerja lepas di studio Simon bersama rekan Simon yang cantik dan senantiasa membuat Mahoni bertanya-tanya, Sofia.
Mahoni sadar, perasaannya terhadap Simon tidak pernah luntur atau pun hilang. Masih sama seperti masa-masa kuliah mereka dulu. Mahoni mengagumi Simon dan Simon adalah kritikus dan sahabat terbaik Mahoni. Mereka berbagi banyak hal mengenai mimpi dan idealisme mereka, termasuk minuman cokelat panas seharga 5 $ sekali seduh. Selain konflik batinnya dengan Simon dan Sofia, yang membuatnya takut akan berubah menjadi another Grace, Mahoni yang semakin terbiasa dengan kehadiran Sigi juga merasakan pergolakan batin. Disatu sisi Ia mulai melihat Sigi sebagai seorang adik laki-lakinya. Namun, disisi lain ia menghormati Mae, Ibunya. Ia harus tetap menjaga jarak dengan Sigi agar tidak melukai hati dan perasaan Mae. Konflik ini mengisi hari-hari Mahoni hingga ia sampai pada kenyataan bahwa cinta memang harus egois. Bahwa kita tidak bisa mengharapkan setiap orang bisa berbahagia selalu. Ketika kau memutuskan untuk meraih cinta, maka kau pasti melukai seseorang yang berada di dekatnya, atau di dekatmu.
Alur novel ini cukup rapi dan sangat enjoyable. Tidak ada sesuatu yang berlebihan disini. Konflik antara Mahoni dan Sofia juga. Meski tidak men-Drama, tapi tidak juga bisa dibilang pas. Terlalu gampang. Saya berharap Sofia bereaksi lebih keras terhadap Mahoni dan Simon. Daripada sekedar diam dan akhirnya berbaikan dengan kerendahan hati. Sofia terlalu berbaik hati, dan ini menurut saya tidak wajar. Bahkan untuk perempuan normal. Saya jadi tidak bersimpati kepadanya.
Novel ini sangat direkomendasikan! Two thumbs up buat Windry. Jika pada novel Orange ia berhasil membawa saya membayangkan nuansa kota tua Pecinan dan interaksi romantis antara Diyan dan Faye. Maka di novel ini Windry membuat saya berangan-angan memiliki rumah dengan tema romantic home di masa depan. Rumah yang nyaman untuk ditinggali sambil menulis, melukis, membaca, sesekali membuat kerajinan tangan dan bereksperimen dengan masakan.
Saya menunggu-nunggu Montase digelar di rak 'Buku Baru' Gramedia. Akan seperti apa kira-kira 'arsitektur' kisah yang diciptakan windry ya?
pict source Windry Rahmadina's official blog, http://www.windryramadhina.com/
Happy reading people ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar