Saya punya adik bungsu berjenis kelamin laki-laki yang sedang memasuki masa puber. Usianya kalau dihitung-hitung sudah 15 tahun dan semakin keras kepala dari hari ke hari. Dulu, dia adalah sosok paling unyu di rumah, karena pipinya chubby dan wajahnya imut hehehe. Dia jadi bahan mainan saya dan adik perempuan saya. Nggak kebayang deh dulu dia sering kami pakaikan bando dan pita saat dia bahkan belum bisa berbicara apa-apa kecuali mengeluarkan bunyi-bunyian aneh.
My Lil Bro, Andre Septian. Born on September 18th 1997
Semakin adik saya tumbuh dewasa, saya semakin menyadari banyaknya kemiripan yang kami miliki. Salah satunya hobby melamun dan menghayal yang sangat kronis dan memilukan. Saya jadi malu sendiri ketika dulu saya datang mengambil raport nya dan gurunya berkata, "dia kurang berkonsentrasi, selalu melamun di kelas dan tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah!" Aha, That's me back in my elementary school! And also in my Junior and Senior HIgh and also in my college until me now hahaha. "Di buku tulisnya pun dimana seharusnya dia mencatat dan mengerjakan soal latihan isinya gambar dan coretan semua." Tuhan, dia memang suksesor saya!
Saya tidak bisa berkomentar banyak apalagi memarahinya, karena dia benar-benar template saya semasa muda. Kami memiliki hobby yang sama, menggambar. Hal ini membuat saya sangat menyayanginya dan berusaha mendukung hobby-nya agar tidak sekedar menjadi hobby yang tidak bermanfaat. Mulai dari membelikannya pensil warna, crayon dan memperkenalkannya pada pensil mekanik untuk menggambar dan soft pastel untuk mewarnai. Saya juga menularkan hobby baca komik dan nonton anime pada my Lil Bro.
Soal selera musik kami juga nggak jauh beda. Kami penikmat TOP 40! penggemar lagu-lagu hits pasaran, khususnya yang tercantum di tangga lagu Billboard. Walau selera musik saya sudah mulai beragam dan bercampur, tidak hanya mendengar musik populer, kami tetap nyambung kalau bicara soal musisi yang lagi nge-hits. Satu lagi, kami sama-sama menyukai genre film action-fantasy . Sebut saja The Chronicle of Narnia Series, Harry Potter saga dan our beloved The Lord of The Rings trilogy.
Kalau soal musik, anime, manga dan film kami sejalan, ada dua hal yang agak sulit menyatukan kami. Membaca buku (bukan hanya komik!) dan belajar. Sebenarnya pada dasarnya saya dan adik sama-sama menyukai pelajaran yang ada kisahnya. Sejarah dan bahasa Indonesia. Adik saya suka sejarah dan selalu suka menonton dokumenter yang ditayangkan di National Geographic Chanel dan History Chanel. Hanya saja dia hanya membaca buku-buku yang sama dan menurut saya itu tidak cukup. Ia harus lebih memperluas range bacaannya. Tidak heran kalau oleh-oleh atau hadiah dari saya untuk adik bungsu adalah buku, DVD, atau alat menggambar. Belakangan saya lebih suka membawakannya buku. Dan saya suskes membuat dia semakin menyukai buku (proud sister hehehe).
Hasil dari itu semua adalah dia jadi menyukai karya-karya Dewi Lestari, atau yang lebih dikenal dengan nama penanya Dee. Buku Dee yang pertama kali dibaca my Lil Bro adalah kumcer Filosofi Kopi. Awalnya saya sama sekali tidak menyodorkan buku itu untuk adik saya baca, Mengingat usianya masih 14 tahun saat itu. Kebetulan saja saya membawa puluhan buku pulang untuk melapangkan rak buku yang semakin reyot di kontrakan saya di Medan. Saya menyuruhnya membaca seri Harry Potter ( mengingat ia suka menonton filmnya) yang langsung ditolaknya mentah-mentah karena tebalnya Nauzubillah. Adik saya akhirnya membaca novel Negeri 5 Menara. Selesai dengan Negeri 5 Menara ia mencari-cari buku lainnya dan menemukan Filosofi Kopi di tumpukan buku saya.
Saya tidak tahu kalau ia mulai membaca Filosofi Kopi sampai saya membersihkan kamarnya dan menemukan buku itu terselip diantara buku-buku pelajarannya yang penuh coretan. Kesan saya, WOW. Dia punya selera buku yang bagus ( selain buku-buku tentang sejarah dan biografi tentunya). Saat saya tanya kesannya, dia menjawab layaknya anak 15 tahun, "Jadi pengen buka kedai kopi di depan rumah dan diberi nama 'FILOSOFI KOPI' juga !" Ya, adik saya sedikit banyak adalah penggemar kopi juga *yang membuat Ibu saya gemas karena kebiasaannya begadang*. Dia suka khususnya kawa daun, kopi tradisional Minangkabau yang diseduh dari daun kopi yang disangrai hingga kering. kalau mau tahu bentuknya kayak foto dibawah ini nih ...
Kawa Daun yang diseduh di periuk tanah liat dan dinikmati di gelas tempurung... Sangat antik bukan?
Ia juga peracik kopi tubruk yang handal. Racikannya selalu pas selera bapak-bapak dan om-om yang menjadi kolega Bapak saya dan sering berkunjung ke rumah. Ide mendirikan sebuah kedai kopi ini saya rasa sangat fantastis. Mengingat daerah kami adalah sebuah kota kecil dengan sebagian besar penduduk cenderung merantau dan warga baru tetap saja berdatangan. Apalagi di depan rumah kami adalah Rumah Sakit Daerah terbesar dan satu-satunya di kota Kabupaten. Ibu saya dulu membuka kedai makan di depan rumah untuk membantu Bapak. Tahun 2004 kedai kami berhenti beroperasi karena Nenek saya mulai sakit-sakitan. Ibu yang sekarang tidak memiliki aktivitas mulai merasa bosan dan berniat mebuat sebuah kedai minum. Kedai kopi saya rasa cocok. Cukup sepetak mungil dan hanya menyajikan kopi dan cemilan tradisional. Sementara kopinya bukan sekedar kopi lokal atau kawa daun saja. Akan lebih baik jika ada bermacam-macam kopi. Tentunya saya bisa jadi pemasok Kopi Aceh dan kopi Sidikalang dan berbagai jenis kopi lainnya yang gampang ditemukan di kota besar seperti Medan.
Oke, kita tinggalkan dulu kopi-kopian ini sejenak dan melanjutkan pembicaraan ke topik sebenarnya haha.
Setelah tahu bahwa ia suka membaca karya Dee, saya memutuskan untuk membelikannya kumcer Dee yang lain, Madre. Sesuai dugaan, adik saya tetap menyukainya dan ide tentang toko roti pun memasuki kepalanya. Kemudian 2 minggu yang lalu saat sedang telponan dengan Bapak yang menagih janji saya mengiriminya buku biografi Karni Ilyas , adik saya nimbrung dan request karya Dee lainnya. "Ni, beliin Perahu Kertas juga ya!"
"Perahu kertas tebal lho, bukannya kamu nggak suka buku-buku tebal njelimet? Trus ini novel bukan kumpulan cerpen kayak kemaren-kemaren, " ujar saya mengingatkannya. Saya terpikir untuk membelikannya Recto Verso sebenarnya (kebetulan saya belum punya).
"Nggak apa-apa," ujarnya optimis.
Jadi saya akhirnya membelikannya Perahu Kertas dan menitipkannya kepada rekan Bapak saya yang sedang dinas ke Medan berikut buku biografi Karni Ilyas permintaan Bapak. Saya berencana menagih sebuah review darinya mengenai buku itu saat pulang ke Batusangkar nanti. Sudah saatnya ia tidak hanya membaca bukan? Saya juga jadi penasaran ide apa lagi yang muncul di kepalanya setelah membaca Perahu Kertas. Entah dia jadi bercita-cita menjadi pelukis seperti Keenan atau Penulis Dongeng seperti Kugi. Atau malah menjadi penulis seperti Dee, penulis kesukaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar