Jumat, 01 September 2017

Gempa!


Saat itu saya belum lagi tertidur. Sepulang kerja saya langsung menyibukkan diri menyelesaikan pesanan ilustrasi dari mantan senior di kampus, Kak Debby. Ilustrasi tersebut selesai sebelum pukul sebelas malam. Namun mata saya masih  belum mau diajak beristirahat sehingga saya menyibukkan diri dengan game di smartphone. Tanpa saya sadari, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Game saya mandeg, saya kehabisan clue dan hints. Akhirnya saya memutuskan untuk tidur setelah sebelumnya menyempatkan diri ke kamar mandi. 

Saya masih berusaha menemukan posisi enak untuk tidur ketika mendengar suara bergemuruh yang terdengar seperti kucing liar bermain kejar-kejaran dengan tikus di loteng rumah. Setengah mengutuk saya berusaha menutup kuping dan memejamkan mata. Namun gemuruh itu tidak berhenti, bunyi derit sendi-sendi rumah mulai terdengar. Oh, ini gempa. 

Seperti yang sudah-sudah, saya terbiasa kalem menghadapi gempa bumi. Ketika tremor pertama terjadi, saya tetap rebahan dan menunggu guncangan berakhir. Tapi gempa kali ini berbeda. Saya pikir hanya ada sekali guncangan, ternyata masih berlanjut. Suara gemuruh dan derit bangunan yang dilanda gempa bumi makin menjadi. Tanpa pikir panjang saya langsung turun dari tempat tidur dan berusaha tetap tenang saat membuka pintu. Pengalaman yang sudah-sudah, entah karena kepanikan atau memang sedang gempa, sangat sulit untuk membuka pintu. 

Di ruang tamu saya menyalakan lampu. Adik perempuan yang tidur di kamar depan juga muncul dengan raut panik. Ajaibnya, adik bungsu yang selalu tertidur pulas no matter what juga terbangun. Rupanya dia belum tidur sama sekali. Bapak yang tidur di kamar belakang malah santai. Beliau tidak muncul sama sekali. Hanya berteriak untuk menyuruh kami tidur kembali. Namun karena kami panik dan mulai meracau karena kebetulan TV berbayar kami sedang tidak aktif, Bapak pun akhirnya keluar. 

"Gempanya besar, sumbernya dari mana" kami mulai sibuk dengan smartphone untuk mencari informasi. Tidak lama, dari group chat palanta muncul informasi gempa. Begitu pun dari group chat yang lainnya. Gempa berkekuatan 6.3 Skala Richter baru saja terjadi di 80 KM timur laut Mentawai. Gempa ini disebut gempa dangkal karena memiliki kedalaman hanya 10 KM saja. Pusat gempa berada di peraiaran antara kepulauan Mentawai dan pesisir barat pulau Sumatra. So that's why gempanya berasa kenceng banget. 

Kami keluar rumah untuk memastikan situasi di lingkungan. Tidak satu pun tetangga kami yang keluar rumah. Juga tidak ada tanda-tanda kepanikan pernah melanda. Malam tetap tenang dan sunyi. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Hujan turun tidak lama setelah itu. Setelah 30 menit terduduk dan menenangkan diri, bapak meminta kami kembali tidur. Besok, eh, hari ini Idul Adha. Kami perlu bangun pagi karena akan pergi sholat ied berjamaah di Mesjid dekat rumah. Selain itu tugas saya sebagai pramuwisata tetap berjalan seperti biasa, tidak ada jedanya. Walau itu hari besar agama. 

Menjelang tidur, pikiran saya masih bercabang kemana-mana. Entah bagaimana saya penasaran dengan riwayat gempa di kampung halaman saya. Saya ingat dahulu ketika 2009, gempa besar juga menguncang Sumatra Barat pada bulan September. Saya masih ingat sore itu saya tengah berada di Rumah Buku lama di depan kantor PO Karona (sekarang pajus baru). Saya tengah bercengkerama dengan beberapa owner ketika merasakan tremor kecil. Tidak lama saya mendengar berita bahwa telah terjadi gempa bumi berkekuatan besar telah terjadi di Sumatra Barat. Dengan jarak yang jauh, kekuatan gempa yang kami rasakan memang kecil. Tapi bagaimana kekuatan gempa di lokasi yang sesungguhnya?

Saya langsung menghubungi orang tua untuk menanyakan kondisi mereka. Alhamdulillah tidak terjadi kerusakan di sekitar lingkungan tempat kami tinggal. Hanya saja orang tua belum berhasil menghubungi sanak saudara di Padang karena terputusnya sambungan komunikasi. 

Saat semester baru dimulai, saya bertemu dengan teman-teman yang berada di kampung halaman saat gempa terjadi. Almarhumah Hanny yang tinggal di kota Padang bercerita bagaimana mereka harus kekurangan pasokan air dan harus mandi dengan memanfaatkan air dari Sungai. Teman Saya Almarhum Febri ( I dont know why, but these two earth quake survival, friends of mine, passed away at a very young age ) yang tinggal di Lubuk Alung juga bercerita bagaimana menyeramkannya situasi setelah gempa. Rumah-rumah runtuh. Lalu lintas terputus. Bahkan sebuah desa terkubur bersama penduduknya karena longsor. Mengerikan. Setelah membaca berita, kami mengetahui bahwa telah terjadi dua gempa kurang dari 24 jam. Gempa pertama sore hari 30 September 2009 berlokasi di Patahan Mentawai, 57 KM barat daya Pariaman. Gempa ini dari laut. Gempa kedua terjadi pagi hari, kali ini sumbernya adalah patahan semangko yang juga menjadi momok bagi kami yang tinggal di dataran tinggi pulau Sumatra. Gempa kedua berkekuatan 6.8 Skala Richter.

Gempa 2009 terjadi pada akhir September. Gempa kali ini terjadi di awal September. Sounds creepy ya? 

Sejak kembali ke kampung halaman akhir 2013 lalu, saya sudah sering merasakan gempa bumi. yang kecil dan yang sedang. Walau berkali-kali terjadi dan saya selalu bilang pada teman-teman yang menanyakan dan mengkhawatirkan kondisi saya, saya selalu menjawab, "sudah biasa." Namun gempa kali ini berbeda dengan gempa-gempa sebelumnya yang saya rasakan langsung. Tentunya bagi teman-teman yang merasakan gempa 2009, kenangan buruk dan trauma akan kembali menghantui mereka. Saya tidak akan pernah terbiasa dengan gempa bumi. Tidak akan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar