Kamis, 10 November 2016

Senja di Istana


Jam kerja saya di Istana menurut kontrak adalah pukul 08.00 WIB - 16.00 WIB. Namun pada prakteknya saya setiap harinya datang pada pukul 09.00 WIB dan pulang ke rumah bersamaan dengan juru kunci menutup semua jendela di lantai 2 dan lantai 3. Ini murni inisiatif pribadi karena pukul 08.00 WIB sangatlah langka ada pengunjung di Istana, sementara pengunjung akan mulai ramai setelah jam makan siang hingga pukul 18.00 WIB. 

Selama bekerja sebagai pramuwisata sejak Agustus 2014, saya jarang sekali memperhatikan warna senja di Istana. Selain karena harus bekerja hingga matahari terbenam, saat akan pulang saya biasanya selalu terburu-buru karena ingin sampai di rumah sebelum Magrib. Tidak sedikitpun mata saya akan memandangi langit dan menemukan ronanya seperti apa. 

Selasa, 08 November 2016

Yatai Ramen, Kedai Ramen berasa Butler Cafe


Kedai ramen dan Butler Cafe, itu yang muncul dibenak saya ketika menginjakkan kaki di kedai mungil berwarna merah di Garegeh, Bukittinggi. Kedai ini tidak begitu terlihat jika kita tidak mengamati dengan benar. Plang namanya pun berwarna dasar hitam dengan tulisan merah. Saya nggak akan ngeh kalau ada kedai Japanese food disana andai mata saya nggak menangkap sesuatu yang nggak lazim di pinggir jalan Soekarno-Hatta Garegeh siang tadi. Apa yang tidak lazim?

Minggu, 06 November 2016

Yang Baru di Istana Pagaruyung



Oke, ini sebenarnya ngak baru-baru amat. Hanya saja saya memang baru menuliskannya di blog baru-baru ini. Foto-fotonya pun sudah saya upload di sosial media saya yang lain yang lebih praktis dan nggak pakai lama.

Ada banyak tren yang terlihat dari pariwisata Sumatera Barat. Tren-tren ini nyaris merata dan serupa dimana-mana. Mulai ari pesisir hingga ke alam dataran tingginya. Contohnya saja pembuatan landmark nama kota atau nama objek wisata. Tidak ada lagi plang nama a la kadarnya. Sekarang zamannya nama lokasi objek wisata atau kota dirancang dan dibuat sebesar-besarnya. Agar terlihat jelas dan mengundang orang-orang mengaguminya. Tidak sedikit malah yang berfoto didepannya atau sekedar memilih huruf yanga ada di namanya. Versi ektrim adalah memanjat, bergelayutan sampai huruf itu patah. Ah, dasar lah memang kau manusia. Peletakan nama versi besar-besaran ini tidak hanya di tempat yang laindai, di lereng bukit pun dijabani. A la a la Hollywood begitu katanya. Coba lihat Sawah Lunto dan Pagaruyung di Sumatera Barat. Ini sukses mengundang decak kagum pengunjung luar negeri yang tidak menyangka Hollywood memberi inspirasi sampai sejauh ini.

Melihat Perupa Bekerja



Menurut wikipedia Perupa adalah profesi dengan menggunakan seluruh potensi dan pengetahuan yang dimiliki di dalam seni rupa. Cakupan bidangnya adalah pematung, pelukis, ilustrator fotografer dan lain-lain. Dan saya sangat menyukai kata ini. Perupa. 

Mengapa melihat perupa bekerja? karena kemarin saya baru melihat bagaimana perupa-perupa berkumpul disebuah desa kecil yang tersembunyi di lereng gunung Marapi. Mereka datang dari mana-mana. Tidak hanya perupa lokal, ada yang juga berwajah eropa. Alasan mereka berkumpul pada hari itu adalah dalam rangka Festival Rupa Nagari Pariangan. 

Batik Bernama Batik Tanah Liek

Siapa yang nggak kenal batik? Umat Indonesia, sebagian besar kalau menurut saya sih, pasti sudah kenal batik sejak masih orok. Kain bedong dan kain gendongan bayi di Indonesia umumnya adalah kain batik. Beberapa tradisi di luar Jawa saja menggunakan kain batik dalam prosesi adatnya, seperti sebuah tradisi di Jorong Koto Gadih, Nagari Tanjung Alam Sumatera Barat, Prosesi Maanta anak. Pada prosesi ini keluarga bako (keluarga ayah) secara adat mengantar anak kembali ke rumah ibunya dengan arak-arakan. Prosesi ini bisa dibilang seperti bentuk dukungan dari keluarga bako untuk kesejahteraan si anak. Tidak ada patokan umur dalam pelaksaan prosesi ini. Biasanya sih asal si anak masih kanak-kanak. Dalam arak-arakan tersebut, keluarga bako akan membawakan hewan ternak seperti ayam, kambing, sapi atau pun kerbau sesuai kemampuan finansial bako. Selain itu, keluarga bako lainnya akan membawakan beras di dalam bakul yang ditutupi oleh kain panjang batik. Melengkapi arak-arakan tersebut adalah umbul-umbul atau bendera dari kain panjang batik. Seperti yang terlihat di foto berikut ini.

Prosesi Maanta Anak dari Jorong Koto Gadih, Nagari Tanjuang Alam pada pawai budaya Festival Pesona Budaya Minangkabau 2016 silam

Sabtu, 17 September 2016

Let's go, WEGI!


alkisah, saya mendapkan kesempatan untuk ikutan bertualang bersama komunitas WEGI bulsn Maret silam. Maret? Iya Maret. Sudah lama sekali ya. Tapi baru sekaranglah saya berkesempatan menuliskan kisah perjalanan seru yang mempertemukan saya dengan banyak teman baru dari dalam dan luar Sumatera Barat. Mereka hadir sebagai influencer, selebgram, blogger dan pekerja kantoran biasa.

Oh ya, saya bisa ikutan ini tentunya nggak terlepas dari informasi Catur, aias M Catur Nugraha. Anak muda inia dalahsaalh satu D'traveller alias anggota komunitas Detik Travel. Dalam sebuah percakapan via WA ia berbagi informasi kegiatan ini. Si Catur sendiri berencana mendaftar sebagai blogger luar Sumbar dan ia menyarankan saya mendaftar sebagai peserta dalam Sumbar. Singkat cerita saya lolos, dia enggak. Maaf ya tur, dan terima kasih banyak.

WEGI adalah singkatan dari Wisata Edukasi Green Industry yang merupakan sebuah program dari Komunitas We-Green Industry. Program ini di tahun 2016 sudah memasuki pelaksanaan ke-5. Dalam pelaksaannya WEGI mengajak komunitas masyarakat untuk melihat lebih dekat bagaimana praktik-praktik green industry atau industri ramah lingkungan diimplementasikan. Hal ini juga menjembatani komunikasi antara pelaku industri dan masyarakat umum untuk saling memahami bagaimana usaha-usaha yang telah dilakukan pelaku industri tidak demi keuntungan semata.

Kamis, 16 Juni 2016

A Sweet Escape, Talago Gunuang



Sudah hampir 3 tahun sejak saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di sebuah kota kecil bernama Batusangkar, Sumatera Barat. Selama kurun waktu tersebut saya berkesempatan untuk menjelajah keindahan tanah kelahiran saya yang menyimpan banyak pesona magis, alam yang indah dan sejarah yang memikat. Apalagi saya bekerja di industri pariwisata, saya semakin terpacu untuk mengenal lebih intim (caelah..) setiap sudut kampung halaman saya, rahasia yang tersembunyi dibalik perbukitan hijau rangkaian Bukit Barisan dan kisah-kisah yang tersimpan di dalamnya.

Nah, kisah perjalanan saya kali ini akan saya mulai dengan sebuah kampung kecil yang tersembunyi dibalik perbukitan, Talago Gunuang.

Rabu, 17 Februari 2016

Ketika saya kurang jalan-jalan

Sejak mulai bekerja sebagai pemandu wisata lokal di ikon wisata sejarah dan budaya Minangkabau, Istano Basa Pagaruyung, jujur saja saya makin kurang jalan-jalan.

Bayangkan, dalam waktu hampir dua tahun bekerja saya hanya pernah jalan-jalan sekali, di luar pekerjaan mendampingi tamu. Pedih. Miris. Masak kerja di industri pariwisata tapi kurang berwisata. Kalau lagi mendampingi tamu, destinasi yang saya kunjungi ya itu-itu melulu. Destinasi yang sudah pernah saya kunjungi sering-sering sebelumnya.

Nah, kesempatan datang ketika seorang bocah minang gadang di rantau (saya menyebutnya bocah karena umurnya jauh lebih muda) mampir nanya-nanya ke meja kerja saya di suatu hari di bulan Desember. Ternyata ia adalah seorang kontributor untuk sebuah media online besar Indonesia khusus artikel travelling. Dia menanyakan banyak hal dan saya memberikan beberapa informasi soal destinasi wisata lainnya yang ada di kota kelahiran saya. Endingnya kami tukeran kontak dan saya menjanjikan akan menemaninya ngetrip di Batusangkar kalau dia kembali nantinya.

Pertemuan kami selanjutnya adalah bulan Januari. Saya mengantarkannya menelusuri Tambo di Nagari Tuo Pariangan. Disana kami melihat lokasi yang disebut sebagai Sawah Satampang Baniah dan Luak nan Indak Baraia. Kami juga mengunjungi rumah tua milik salah satu pemuka adat di Nagari Pariangan dan mendengarkan penuturan penjaga rumah tentang keunikan dan fungsi dari setiap ruangan di dalak rumah.

Setelah selesai dengan Nagari Tuo Pariangan, kami menuju ke Batu Batikam dan Prasasti Kubu Rajo di Lima Kaum. Tidak lupa juga kami mampir ke Rumah Gadang Datuak Bandaro Kuniang yang sudah terkenal berkat iklan, video promosi dan lokasi syuting film.

Nah, selanjutnya saya mau mulai posting cerita dan informasi tentang objek-objek wisata di Sumatera Barat, khususnya di kota kelahiran saya.

Semoga, haha.