Kamis, 29 November 2012

WARNING : Before you choose Japanese Lit in College


Suka baca komik, suka nonton anime, suka harajuku style, dan koleksi elektronik rumah tangga bermerek So*y, T*shiba, Mi*ako, etc menjadi alasan mengapa seorang lulusann SMU memilih jurusan Sastra Jepang saat kuliah. Alasan lainnya yang lazim saya dengar adalah karena mereka melihat banyaknya PMA dari Jepang di Indonesia, sehingga ia melihat itu sebagai peluang yang bagus. Alasan ini adalah alasan yang sangat berwibawa  dan tepat guna. Karena dari apa yang saya lihat, sebagian besar yang beralasan di awal saya sebutkan tadi (suka anime, manga, Japan Pop culture) rata-rata berakhir sebagai lulusan Sastra Jepang yang tidak tahu bahasa jepang,  ironi yang nyaris menyamai “Nihonjin No Shiranai No Nihongo”.

Saya adalah salah satu di antara golongan pertama yang masuk sastra Jepang. Sebagai penyuka anime, manga dan pop culture Jepang saya sempat kebingungan saat memilih jurusan kuliah. Masuk Ilmu Politik tidak direstui. Masuk Hubungan Internasional, otak saya pas-pasan. Masuk kedokteran sangatlah tidak mungkin. Masuk DKV biayanya luar biasa besar. Akhirnya saya survey berbagai jurusan kuliah yang terlihat bakal menyenangkan ketika dijalani dan sesuai dengan hobi (?). Pilihan saya jatuh pada sastra Jepang, simply because i love its pop culture.

Bayangan saya ketika memasuki sastra Jepang adalah acara Bunkasai yang akan digelar setiap tahunnya, seperti yang saya baca liputannya di Animonster. Euforia saya memasuki sastra Jepang bukan karena segi akademik, lebih kepada selebrasi. Seperti warga Jepang yang merayakan Natal setiap tanggal 25 Desember, dan berdoa di kuil pada tanggal 1 januari. Saya benar-benar berpikir untuk bersenang-senang semata. Bayangan saya kuliah di sastra Jepang akan mempertemukan saya dengan sesama otaku manga dan anime, penyuka fashion harajuku dan penggemar Utada Hikaru. Saya tidak membayangkan akan menghapal ratusan hingga ribuan kanji, mempelajari 3 jenis huruf, memahami keigo, dan menggali sejarah kelam bangsa Jepang. Have no idea.

Minggu pertama sebagai mahasiswi Sastra Jepang disebut sebagai junbishuukan (準備週間). Dimana khusus satu minggu awal semua mahasiswa difokuskan untuk mengahapal mati huruf-huruf hiragana dan katakana. Hal ini dikarenakan buku teks pelajaran yang digunakan menggunakan kedua huruf tersebut dan juga kanji. Mengapa kanji tidak dimasukkan ke dalam junbishuukan juga? Adalah karena tidak mungkin menghapal karakter kanji Jepang yang berjumlah ribuan itu dalam satu minggu. Wong pelajar Jepang aja punya mata pelajaran Kanji di sekolahnya kok. Jadi kami para mahasiswa pun memiliki mata kuliah kanji di setiap semesternya.

Kelar junbishuukan, kami memasuki babak pelajaran sastra Jepang yang sebenarnya. Buku yang kami gunakan adalah buku Minna No Nihongo I, seperti yang dibawah ini nih..


Buku ini adalah buku pelajaran bahasa Jepang standar yang digunakan di berbagai belahan dunia. Bagi mahasiswa yang sudah mampu membaca katakana dan hiragana pelajaran awal menjadi sangat mudah. Begitu juga bagi saya. Semester 1 saya lalui dengan sangat santai dan mulus. Saya berhasil memasuki semester II dengan IP 3,5. Saat saya pikir saya bisa menghandle semester II dengan lebih baik, saya dan beberapa teman yang terlanjur songong mengambil mata kuliah senioran, Huruf Jepang 4 yang seharusnya di ambil di semester 4. Hasilnya, saya dan teman-teman gagal berjamaah dengan nilai E menganga di KHS kami semester 2. Artinya kami harus mengambil mata kuliah huruf Jepang 4 lagi di semester 4.

Pelajaran bahasa Jepang dari satu semester ke semester berikutnya semakin menggila. Berhubung mata kuliahnya adalah mata kuliah kontiniu, dimana setiap semester mengalami peningkatan level kesulitan maka sekali kamu gagal di satu level akan berimbas ke level-level berikutnya. Dan huruf jepang alias Kanji menjadi mimpi buruk saya. Akibat kesombongan mengambil mata kuliah kanji dobel di semester 2, kanji saya kacau balau dan gagal. IP saya jatoh ke angka 2,7. Belum lagi saya memiliki aktifitas baru sebagai anak pers kampus. Kuliah bahasa yang sama sekali awam di kuping orang Indonesia (kecuali berbagai merek elektronik yang marak) sangatlah berat.

Saya gagal! Gagal jadi lulusan sastra Jepang yang mahir bahasa Jepang. Jujur saya sering tersandung di mata kuliah linguistik yang sungguh sangat bikin trauma. Apalagi saya sepertinya memiliki hubungan sangat dekat dengan dosen yang memberi saya nilai kalo nggak E paling baek D di 3 mata kuliah linguistik. Mental saya lemah memang ya, gara-gara batu sandungan seupil itu konsentrasi belajar saya pecah.

Perkuliahan berlanjut dan mata kuliah semakinberagam dan semakin menggila. Sejarah Jepang, Kebudayaan Jepang, Puisi Jepang, drama Jepang, kami mempelajari tidak hanya linguistik dan bahasa. Dalam mempelajari mata kuliah kebudayaanpun kami terkadang menggunakan buku teks berbahasa Jepang, kalau nggak Inggris. Maklum, buku-buku kebudayaan dan Sastra Jepang belum banyak yang dialih bahasakan. Saya paling stress kalau belajar sejarah Jepang dengan menggunakan buku teks berbahasa Jepang. Tidak hanya isi (kontennya) yang purbakala, huruf kanjinya juga sama sekali tidak ada yang bisa terdeteksi apa artinya. Membuat kami selalu membolak balik kamus kalau sang dosen nggak menjelaskan bacaannya apa dan artinya apa. Belum lagi mata kuliah ekspresi bahasa Jepang. Mengingat sejarah bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat homogen yang kompleks. Kebudayaan mereka yang ketat memuncukan beragam ekspresi dalam berbahasa. Tidak heran jika untuk mengungkapkan sesuatu bisa berbeda beda. Seperti penggunaan keigo. Jika dalam percakapan sehari-hari dengan sahabat dan rekan kita untuk kata makan  menggunakan taberu  maka jika berhadapan dengan atasan, orang yang dihormati maka kata yang digunakan adalah meshi agarimasu.

Waktu berlalu dan saya berhasil lulus juga dengan menyandang gelar SS alias Sarjana Sastra. Beban yang sangat berat mengingat jika ditanya bahasa Jepang yang masih saya ingat hanya bagian perkenalan dan nama-nama musim. Soal kanji jangan diungkit. Saya hanya ingat kanji watashi, yama dan Ai (ini pun saya masih sering salah tulis). Oh iya, saya juga masih ingat kanji Ue dan Shita kekekeke. Jadi jika anda bertanya-tanya mengapa nama blog saya aneh, itu sebetulnya obsesi awal saya yang ingin  nge-blog kejepang-jepangan. Sayangnya saya tidak pernah benar-benar posting hal-hal berbau bahasa Jepang kecuali hobby menggambar a la manga saya. Blog saya sendiri Aoisoranoshitade.blogspot.com, aoi sora no shita de berarti Under the blue sky. Nama blog ini terinspirasi dari lagu Jepang yang kami nyanyikan saat saya mengikuti Gasshuku (semacam PMB jurusan) di awal kuliah, lagunya kira kira berbunyi seperti ini... Sora no shita de ookikunatte, Sora no shita de ookikunatte,  anata to watashi, nakayoku asobimashou...

Saat-saat menyeramkan setelah jadi Sarjana dan mencari kerja adalah saat interview kamu ditanya macam-macam soal bahasa Jepang, dan kebetulan yang interview ngerti bahasa Jepang padahal kamu pikir dia tidak mengerti dan kamu berlagak pintar membodohinya dengan asal jawab sekenanya. Pfuiiiiihhh . Cape deh. Saya pernah mengalamainya. Harus saya akui itu adalah hal paling memalukan dalam hidup saya. Wawancara kerja resmi pertama saya ibarat terkena tsunami setelah gempa 10 SR. Harga diri saya runtuh dan sama rata dengan tanah. Saya juga mempermalukan almamater saya. Trik saya setelah ketahuan? Ngeles...

Dan malam ini saya bertemu dengan beberapa kawan semasa kuliah di sastra Jepang USU. Dan guess what, tidak satu pun diantara mereka yang bekerja sesuai dengan jurusan kuliah. Teman saya yang pertama adalah mantan bankir yang sekarang bekerja sebagai promotion spv , teman yang kedua bekerja di perusahaan forwarding, dan yang ketiga adalah Admin sebuah kursus bahasa Inggris. Mereka sama sekali tidak menggunakan bahasa Jepang yang dipelajari semasa kuliah. Dan guess what, mereka juga mengalami masa-masa dimana lulusan Sastra Jepang seperti kami dianggap maha fasih menulis dan membaca kanji serta tahu arti lagu-lagu L’arc en ciel.

Seperti cerita teman saya yang pertama...
“Saat kami loading barang baru berupa keyboard merek Kawai seorang teman dengan entengnya  meminta saya menerjemahkan tulisan bahasa Jepang di kemasan keyboard tersebut. Saya ngeles aja kalo saya kesulitan mengartikan kanjinya. Saya bilang, ‘kalo di sastra Jepang kanji itu bisa memiliki banyak arti. Jadi tidak bisa sembarangan menerjemahkan sesuatu’”

Lucu sekali...

“kemudian ada suatu hari datang brand ambasador keyboard merek Kawai ke kantor kami. Para karyawan heboh meminta saya turun untuk berbincang dengan orang Jepang tersebut. Saya berhasil menolak turun ke showroom  dengan alasan banyak kerjaan.”

Hahahahahahahhahahahha

Teman kedua lebih ngaco lagi...

“Saat saya wawancara di epson, saya mendadak diberitahu bahwa saya akan diwawancara oleh GM-nya langsung yang orang Jepang. Saya tidak menduga akan seperti itu karena saya tidak melamar menjadi penerjemah Bahasa Jepang. Ketika si GM muncul saya langsung berdiri dan bersusah payah mengucapkan kalimat dalam bahasa Jepang yang berarti,’Maaf saya mengundurkan diri dari wawancara ini’”

Bahasa Jepang memang mengerikan! Salah ding, kami para lulusannya yang mengerikan.

So, just for your information. Jika saya amati dari 40-an lulusan Sastra Jepang satu angkatan dengan saya, saya rasa kurang dari 10 orang yang menggeluti profesi yang berhubungan denngan bahasa Jepang. Saya rasa pun hanya 4 orang. 2 bekerja di Konsulat Jenderal jepang di Medan, dan 2 orang menjadi Nihongo Kyoushi di SMA. Yang lainnya? Kebanyakan malah bekerja di dunia perbankan. Tidka heran banyakl perusahaan Jepang yang masih saja kewalahan mencari tenaga kerja Penterjemah di Indonesia.

Belajar bahasa yang sangat tidak familiar di kehidupan sehari-hari sangatlah challenging. Jika bahasa Inggris sudah sangat familiar dimana sehari-hari kita bisa mendengar anak es-de mengumpat mengucapkan “F*CK YOU!” maka bahasa Jepang sangat langka penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari. Setahu saya hanya jokes bahasa jepang yang sering digunakan masyarakat Indonesia, seperti Takashimura (tak kasih murah) dan sakurata (miskin cyintt). Untuk kosa kata entah kosa kata mana dalam bahasa Indonesia selain romusha yang diserap dari bahasa Jepang. Kemungkinan ini seharusnya ada mengingat Jepang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 tahun.

Kunci dari mempelajari bahasa adalah dengan mempraktekkannya sesering mungkin. Jika tidak dipraktekkan mana mungkin sebuah bahasa akan dapat dikuasai. Minimal kalau tidak diucapkan biasakanlah diri untuk dekat dengan bahasa Jepang seperti mendengar lagu-lagu Jepang dan Menonton dorama dan movie Jepang. Cara ini sangat ampuh untuk membuat kamu memahami penggunaan pola kalimat khususnya percakapan dalam bahasa Jepang. Saya jika ditanya mengerti bahasa Jepang maka saya akan menjawab ya saya mengerti sedikit. Kalau menonton dorama atau movie, saya dapat memahami jalan ceritanya dari penggalan-penggalan dialog yang berhasil saya pahami. Tapi jika mengucapkannya saya nyerah. Bahasa Jepang saya sudah terkikis Korean Wave. Hahahahahaha. Joudan ne~

Setelah melewati berbagai interview dan disentil mengenai kemampuan bahasa saya, saya mulai sedikit tersadar dengan big black hole in my life history ini. Jadi dengan tekkad yang (agak) kuat saya berniat untuk mengulang belajar bahasa yang satu ini dari awal. Saya kembali mebuka minna no nihongo I dan mulai berbincang dengan tawapon-san dan Maiku Miraa. Insya Allah kalo nggak ada halangan saya ingin mengikuti Noryoukushiken atau semacam ujian kemampuan bahasa Jepang atau TOEFL dalam bahasa Inggris tahun depan. Saya berharap saya dengan bangga akan berkata saya mampu berbahasa Jepang karena saya lulusan Sastra Jepang. Dan tidak ngeles lagi jika ditanya atau diminta berbahasa Jepang. Walau nantinya pekerjaan saya tidak berhubungan dengan bahasa Jepang. ^^

Ini secuil kenangan dari kebersamaan kami para eks mahasiswa Sastra Jepang USU angkatan 2006


dan kenangan indah saat BUNKASAI USU 2011



 ^^/


17 komentar:

  1. Saya suka semua anime yang ditayangkan TV swasta lokal di minggu pagi (dulu), kalo sekarang sukanya anime dg teman nichijou (kehidupan sehari-hari) kek Danshi koukousei no Nichijou gitu, Azumanga Daioh,Atashinchi, de le le ga Walo ber-season2 tapi g ngebosenin hehe

    BalasHapus
  2. Masuk sasjep harus kuat mental kayaknya,karena belum aja masuk udah dipandang sebelah mata ... orang lain pilih Teknik ini malah sastra ,

    BalasHapus
  3. saya suka bahasa jepang, mau seirus di bahasa jepang
    malah nyasar di matematika

    BalasHapus
  4. Saya mau sastra jepang. Setelah baca postingan author kok jadi degdegsher ya:) btw thanks thor udah sharing!^^

    BalasHapus
  5. Saya juga ingin ambil Sastra Jepang setelah acara ini tambah meyakinkan hati, HARUS RAJIN BELAJAR :)
    Terima kasih ka, sudah berbagi pengalaman :)

    BalasHapus
  6. Saya juga ingin ambil Sastra Jepang setelah acara ini tambah meyakinkan hati, HARUS RAJIN BELAJAR :)
    Terima kasih ka, sudah berbagi pengalaman :)

    BalasHapus
  7. Xixixixi....kita sama ya.....

    BalasHapus
  8. Kuliah Sastra Jepang memang harus serius sejak awal, karna kita akan kesulitan di semester berikutnnya kalau kita tidak menguasai materi semester lalu. Saya juga kuliah Sastra Jepang di UNUD.

    Mampir ke blog saya ya http://japandaisuki.com

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  10. Hufttt sesuai kenyataan author nya sih, tapi malah bikin down semangat yg mau masuk sasjep. Thx thor preview nyaa ^_^

    BalasHapus
  11. Wah...
    Greget juga ya belajar sastra jepang :v
    Mau sih ambil sastra jepang, tapi masih ragu

    BalasHapus
  12. Min, apakah harus bisa bahasa jepang untuk mengambil prodi sastra jepang?

    BalasHapus
  13. Awal semester prodi sastra jepang tuh belajarnya dari dasar atau langsung ke materi inti?

    BalasHapus
  14. gua tau nya cuma "OHAYOU" dan "OMAE WA MOU SHINDEIRU/ NANI!!!"
    sekian

    BalasHapus
  15. Min, tanya nih. Aku pengen ambil sasjep, aku bisa basicnya, kaya katakana, hiragana gitu. Kanji juga beberapa ada yang apal dikit. Soalnya udah belajar 3 tahun. Tapi, aku bukan wibu dan sama sekali nggak tahu soal anime dan apalah itu. Takut kalo masuk sasjep ntar ikutan jadi wibu yang nolep. Emang semua anak sastra jepang suka kebudayaan jepang min? Gak ada yang suka bahasanya doang?

    BalasHapus