Minggu, 06 November 2016

Batik Bernama Batik Tanah Liek

Siapa yang nggak kenal batik? Umat Indonesia, sebagian besar kalau menurut saya sih, pasti sudah kenal batik sejak masih orok. Kain bedong dan kain gendongan bayi di Indonesia umumnya adalah kain batik. Beberapa tradisi di luar Jawa saja menggunakan kain batik dalam prosesi adatnya, seperti sebuah tradisi di Jorong Koto Gadih, Nagari Tanjung Alam Sumatera Barat, Prosesi Maanta anak. Pada prosesi ini keluarga bako (keluarga ayah) secara adat mengantar anak kembali ke rumah ibunya dengan arak-arakan. Prosesi ini bisa dibilang seperti bentuk dukungan dari keluarga bako untuk kesejahteraan si anak. Tidak ada patokan umur dalam pelaksaan prosesi ini. Biasanya sih asal si anak masih kanak-kanak. Dalam arak-arakan tersebut, keluarga bako akan membawakan hewan ternak seperti ayam, kambing, sapi atau pun kerbau sesuai kemampuan finansial bako. Selain itu, keluarga bako lainnya akan membawakan beras di dalam bakul yang ditutupi oleh kain panjang batik. Melengkapi arak-arakan tersebut adalah umbul-umbul atau bendera dari kain panjang batik. Seperti yang terlihat di foto berikut ini.

Prosesi Maanta Anak dari Jorong Koto Gadih, Nagari Tanjuang Alam pada pawai budaya Festival Pesona Budaya Minangkabau 2016 silam



Tidak hanya pada tradisi maanta anak, batik juga menjadi kelengkapan pakaian seorang bundo kanduang dan para datuk di Minangkabau. Bagi seorang bundo kanduang (ibu kandung) batik menjadi pelengkap pakaian mereka. Cara memakainya pun tidak sembarangan. Untuk para datuk, batik biasanya dijadikan deta (penutup kepala) dan bagi bundo kanduang batik akan dikalungkan di leher, satu sisi menjuntai ke dada dan sisi lainnya disematkan di pundak seperti yang terlihat di gambar berikut ini  :

 Para bundo kanduang dari Nagari Dilam, Kecamatan Bukik Sundi, Solok tengah bersiap-siap untuk mengikuti pawai budaya pada pembukaan Festival Pesona Budaya Minangkabau 2016 pada 27 Oktober 2016.

Ada banyak cerita mengenai asal usul batik di Ranah Minang. Dari yang pernah saya dengar ketika berkunjung ke Museum Adityawarman saat Festival Kain Nusantara setahun silam, batik di Minangkabau disebut batik tanah liek. Konon memang berasal alias dibawa dari Tanah Jawa. Alkisah, ketika Adityawarman melakukan ekspansi wilayah Majapahit ke Sumatera pada tahun 1339 ia membawa serta banyak pasukan. Ketika akhirnya ia memutuskan untuk memisahkan diri dari Majapahit dengan mengangkat dirinya sebagai Sri Maharaja Diraja, Raja Suwarnabhumi dan mendirikan kerajaan baru bernama Malayupura di tahun 1347 ia pun mengangkut batik ke tanah kekuasaan barunya. Batik pun menjadi bagian dari kehidupan dan tradisi masyarakat Minangkabau.  Versi lain menyebutkan bahwa batik di Ranah Minang berasal dari Tiongkok. Hal ini diduga berdasarkan motif-motif khas negeri tembok raksasa itu menghiasi banyak kain batik kuno di Minangkabau, seperti motif burung Hong.

Mengapa batik tanah liek? Tanah liek berarti tanah liat. Batik tanah liek menggunakan tanah liat sebagai pewarna dasarnya sehingga menghasilkan warna kain kekuningan yang klasik dan tidak lekang oleh masa.

Sudah lama saya memendam keingintahuan mengenai batik tanah liek. Sayangnya batik tanah liek asli ini tergolong mahal. Sampai sekarang saya belum mampu membelinya, hehehe. Tapi memang dasar jodoh, walaupun masih belum mampu memiliki batik tanah liek, saya mampu menyaksikan dari dekat dan langsung bagaimana batik cantik ini diolah.

Pada postingan sebelumnya saya berkisah tentang WEGI. Nah salah satu destinasi WEGI ke-5 yang saya ikuti adalah berkunjung ke Batik Tanah Liek Ayesha. UKM Batik Tanah Liek Ayesha adalah mitra binaan PT Semen Padang. Selain melihat-lihat kain batik yang sudah jadi, para peserta juga dapat melihat bahkan mencoba mengikuti proses membatik yang dilakukan di workshop yang berlokasi tidak jauh dari gallery yang beralamat di Jalan Andam Dewi, Marapalam, Padang ini.

Oke, yang pastinya proses pembuatan batik tanah liek sama saja dengan proses membatik di Jawa. Perbedaan mendasar terletak pada proses perendaman kain putih polos ke dalam air rendaman tanah liat. Kain yang digunakan biasanya adalah kain sutra, dolbi dan katun dengan ukuran-ukuran yang telah ditentukan. Kain direndam selama satu hari dan kemudian dicuci dan dikeringkan. Setelah kering maka akan masuk pada proses menggambar motif. Nah, motif juga hal yang tentunya membedakan batik tanah liek dengan batik-batik dari daerah lain. Motif yang dipakai adalah motif dari ukiran rumah gadang seperti itiak pulang patang dan pucuak rabuang. Motif-motif lainnya yang kemudian dikembangkan adalah motif-motif dari tradisi dan legenda di Minangkabau seperti tabuik, Malin Kundang dan bahkan jam gadang.

Setelah kelar dengan proses pembuatan motif maka dilanjutkan dengan proses membatiknya itu sendiri. Cairan malam akan diletakkan ke motif yang sudah ditentukan. Setelah proses ini dilanjutkan dengan proses mencolet atau penyapuan warna pada motif yang tidak diberi malam. Warna-warna yang digunakan diproduksi dari bahan baku alami seperti warna hitam dari kulit jengkol, gambir untuk warna oranye dan kulit rambutan untuk warna merah. setelah dicolet, kain akan diangin-anginkan hingga kering. proses akhir dari kesemuanya adalah pelorotan malam dari kain batik. Proses ini melibatkan tenaga yang besar dan air panas mendidih. Malam yang lekat pada kain akan luruh dan memunculkan warna dasar kain kembali. Kain kembali diangin-anginkan sebelum dikemas dan dijual.

Berikut beberapa foto dari kunjungan ke Rumah Batik Ayesha Maret silam.

 Welcome!

Disambut oleh sang owner langsung.

Godaan maut menyambut begitu melewati pintu masuk galeri

Tidak hanya memproduksi batik tulis, Ayehsa juga memproduksi batik cetak. Untuk batik cetak tidak diperlukan proses menggambar motif. Cetakan yang dilumuri malam langsung dipalikasikan ke atas kain.

Proses pencoletan warna

Jejemuran

Akhirnya, dia luruh juga *eh

Dan demikianlah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar