Kamis, 03 Januari 2013

Montase, A New Novel By Windry Ramadhina



First Post for 2013 !




Dalam blognya, Windry Ramadhina menuliskan bahwa ia akan segera menerbitkan novel terbaru setelah Memori dengan judul Sakura Haru. Reaksi saya ketika pertama kali membaca hal itu adalah, “Oke, saya tidak perlu menunggu selama saya menunggu Memori diterbitkan  selang 4 tahun setelah Orange.” Sangat menyenangkan mengetahui ahwa penulis favorit anda lagi produktif.  Hal ini berarti anda memilki list must buy books. Tentunya tidak akan kebingungan saat ke toko tidak menemukan buku yang menggugah selera membaca anda. ^^

Akhirnya, seminggu yang lalu saya menemukan noovel tersebut. Hanya saja judulnya bukan lagi Sakura Haru. Dalam blognya Windry menginformasikan bahwa novel tersebut telah selesai proses editing dan judulnya berubah menjadi Montase. Sebuah keputusan tepat menurut saya karena menempatkan Montase sebagai judul sesuai dengan kebiasaan Windry menamai novelnya dengan satu kata saja, Orange, Metropolis dan Memori and then Montase. Montase berasal dari kata Montage. Sebuah istilah di dunia perfilman yang berarti  sebagai berikut menurut Wikipedia =)


Montage pron.: /mɒnˈtɑːʒ/ is a technique in film editing in which a series of short shots are edited into a sequence to condense space, time, and information.


Terjemahan bebasnya, montage atau dalam istilah Indonesianya montase, adalah salah satu teknik editing film dimana beberapa  adegan/klip /gambar pendek yang disatukan untuk mempersingkat ruang, waktu dan informasi. Kalau saya menerjemahkannya mungkin seperti kebanyakan adegan pembukaan disebuah film (mungkin seperti adegan pembuka (500) Days of Summer ) dimana seringkali kita dibawa melihat-lihat latar ruang dan waktu cerita agar mendapat informasi sebelum masuk ke cerita utama dan aktor dan aktrisnya mulai ber-drama ria.


Latar dari kisah yang dibangun Windry kali ini adalah dunia mahasiswa perfilman  Institut Kesenian Jakarta.  Two thums up untuk Windry yang berhasil menyajikan detail kehidupan mahasiswa seni yang eksentrik dan idealis . Jika sebelumnya tokoh utama dalam kisah Windry adalah perempuan , a  photographer in Orange and  An Architect in Memori, kali ini Windry bercerita melalui sudut pandang seorang cowok galau bernama Rayyi. 


Rayyi adalah mahasiswa  jurusan perfilman yang dipaksa ayahnya mengambil peminatan Produksi ketimbang dokumenter yang menjadi  passionnya. Ayahnya adalah seorang produser yang bertanggung jawab akan wajah perfilman Indonesia dengan merilis film-film cheesy yang laku keras di pasaran. Berbeda dengan ayahnya, Rayyi cinta mati dokumenter setelah diperlihatkan sebuah dokumenter  karya sineas Rusia Dziga Vertov yang berjudul The Man With A Movie Camera oleh Ibunya yang  telah meninggal dunia.


Perkenalannya dengan sosok gadis bernama Haru Enomoto (yes, she’s a Japanese) dan dosen tamu di mata kuliah dokumenter yang disusupinya, Samuel Hardi. Haru dan Samuel adalah dua sosok yang percaya dan meyakinkan Rayyi akan bakatnya di pembuatan film dokumenter.


Berbeda dengan kisah-kisah romansa Windry sebelumnya, Montase menurut saya lebih sederhana. Membacanya mengingatkan saya akan  kisah-kisah cinta, persahabatan dan cita-cita dalam komik serial cantik keluaran Elex Media di tahun 90-an. Kisahnya sangat pure dan manis. Hal ini direpresentasikan oleh sosok Haru Enomoto yang seperti tokoh utama komik shoujo. Kecil namun memiliki banyak kejutan.  Apalagi ditengah gempuran novel berbasis fanfiction drama Korea yang marak dan merajalela di rak-rak toko buku, entah itu diterbitkan oleh penerbit  besar atau penerit yang come out from nowhere.


Ceritanya memang mudah ditebak walau sebenarnya saya menolak menduga. Windry lagi-lagi menyelamatkan novelnya dengan  gaya penulisannya yang peka akan detail. Hal yang paling saya suka darinya, dimana cerita roman dengan tema pasaran menjadi sangat menarik. Hanya saja  ini bukan karya Windry favorit saya . Orange menjadi pemuncak dan Memori dibawahnya (hope someday saya akan menemukan Metropolis). Kisah ini seharusnya menjadi inspiratif dan menggugah, hanya saja bagi saya belum sampai kesana. Ini masih menjadi sebuah kisah romansa anak muda.

Portrait of Dziga Vertov , source en.wikipedia.org 

Saya membaca novel ini dalam perjalanan darat dengan Bus ALS menuju kampung halaman saya Batusangkar dari Medan dalam rangka liburan tahun baru. Bus yang saya tumpangi terjebak macet selama hampir 6 jam plus siksaan jalan rusak parah membuat perjalanan yang seharusnya hanya 20 - 22  jam bertambah 10 jam lebih lama menjadi 32 jam! Novel ini menyelamatkan saya dari kegelisahan akibat perut lapar dan disertai senggugut rutin plus masuk angin haha. Sayangnya hanya butuh lebih kurang 2 jam. Dan saya kembali ke neraka perjalanan darat lintas Sumatera Utara-Sumatera Barat.

2 komentar: