Wah, lama juga blog ini saya biarkan terbengkalai. Terakhir saya memposting sesuatu yang setengah jadi dan setengah hati akhir bulan Oktober lalu. Mengenai DIY yang iseng saya lakukan saat benar-benar tidak ada kerjaan di malam hari.
Sebenarnya ada banyak hal yang harus saya tulis di blog ini mengingat tujuan saya menuliskannya di media online seperti ini agar saya bisa mengaksesnya dimana pun dan kapan pun. Tidak perlu ditulis dalam buku tulis, buku sketsa dan diari. So, cukup hemat kertas bukan?
Hanya saja saya menyibukkan diri dengan banyak hal. Hingga akhirnya Desember menghampiri kejadian-kejadian yang terjadi di tahun 2013 ini belum lah semuanya terangkum dengan baik di blog ini. Baik itu yang bersifat personal dan sentimental mau pun aktifitas profesional dengan TROTOA Photography.
Oke, untuk mengawali catatan yang tercecer di tahun 2013 ini saya memulainya dengan sebuah catatan perjalanan saya mengunjungi sebuah daerah yang terkenal akan produksi biji kopi dengan kualitas nomer wahid di pulau Sumatera.
Sidikalang, nama daerah di dataran tinggi provinsi Sumatera Utara ini seringkali diasosiasikan dengan kopi. Sebagian besar orang mengenal nama daerah ini dari produk kopi. Kopi Sidikalang terkenal dimana-mana sebagai kopi dengan aroma dan rasa yang khas. Saya sebagai non-penggemar kopi saja mengakui ada yang berbeda saat mencicipi kopi asli daerah ini.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bukan penggemar kopi. Hubungan saya dengan kopi sangat dangkal. Sebatas permen kopiko dan kopi sachetan ketika harus begadang dan setelah begadang. Saat nongkrong bersama sahabat dimana pun itu, saya lebih memilih teh sebagai minuman favorit. Mulai dari teh tong (Teh tanpa gula), teh manis dingin alias ManDi -sebutan populernya di kota medan- , lemon tea hingga maccha. Saya bahkan tetap memesan teh ketika sedang nongkrong di Kopi Tiam Ong atau Kedai Kopi Ulee Kareng dan Kopi Baba. Jadi, perjalanan ke Sidikalang sedikit banyak membuka wawasan saya mengenai kopi sebagai salah satu ikon dari Sumatera Utara dan peranannya dalam menyokong perekonomian warga lokal.
Pengetahuan pertama mengenai kopi yang saya dapat mengenai jenis kopi. Ada dua jenis kopi yang dibudidayakan petani Sidikalang yaitu Robusta dan Arabika. Menurut Lidya dari Petrasa, organisasi yang mendampingi petani-petani Sidikalang dalam mengembangkan pertanian organik, kopi dibawa oleh pemerintahan kolonial Belanda ke Nusantara pada akhir abad ke-16. Pemerintah kolonial kemudian mengaplikasikan cultuurstelsel dimana rakyat menanam jenis tanaman tertentu (yang diminati pasar internasional) sebagai ganti pembayaran pajak, kopi dan rempah-rempah termasuk di dalamnya. Penyebaran tanaman kopi dimulai dari Batavia hingga ke seluruh tanah Jawa hingga Sumatera.
Kopi Arabika adalah jenis kopi paling diminati pasar karena kualitasnya yang bagus, sementara kopi jenis Robusta adalah kopi kelas 2. Di daerah Sidikalang kopi Arabika sering disebut kopi ateng. Alasannya karena tumbuhannya tidak terlalu tinggi namun sangat produktif. Berbeda dengan jenis Robusta yang berpohon tinggi dan kokoh. Umur dari Arabika lebih pendek dari pada robusta, jika arabika bisa hidup 7-10 tahun maka robusta bisa bertahan 10-15 tahun. Namun popularitas dan kualitas arabika lebih unggul dari pada robusta.
Ada cerita lucu mengenai kopi arabika di zaman kolonial, menurut Lidya masyarakat di Sidikalang diberitahu bahwa kegunaan kopi adalah untuk bubuk mesiu. Entah benar atau tidak tapi itu membuat masyarakat tidak mengkonsumsi kopi arabika sama sekali. Masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi robusta bahkan hingga saat ini hal tersebut masih dipercayai. Namun setelah popularitas kopi menanjak dan masyarakat petani mulai menikmati hasil taninya sendiri, mereka lebih memilih menanam jenis arabika untuk kemudian hasilnya dijual untuk konsumsi dalam dan luar negeri.
Ada dua tipe pertanian di daerah Sidikalang, organik dan anorganik. Petani-petani organik mengembangbiakkan tanamannya tanpa bantuan pestisida. Pertanian organik sangat populer akhir-akhir ini karena terbukti menghasilkan biji kopi kualitas baik dan sesuai dengan standar internasional selain karena harga jualnya lebih mahal.
Kebun kopi yang saya kunjungi adalah kebun kopi milik seorang Ibu petani (saya lupa namanya) menanam kopi secara organik dan tumpang sari. Hujan menyambut kami ketika datang berkunjung. Sambil menunggu hujan reda Ibu petani bercerita mengenai suka dukanya bertani kopi organik. Bagian yang menyenangkan bagi si Ibu karena sering ada kunjungan dari pecinta kopi mancanegara ke kebun kopinya. Walau sempat mengeluhkan hasil panen kopinya belum berhasil membuatnya mapan, tapi ibu petani ini sangat bersemangat untuk meneruskan bertani kopi.
Akhirnya saya dan kawan-kawan diajak menuju kebun kopinya. As she said before, kebun kopi si ibu merupakan kebun tumpang sari. Di sela-sela tanaman kopi terdapat tanaman lain seperti pepaya dan rimbang. Bagian kebun kopi yang kami kunjungi hanyalah sebagian kecilnya saja. Rata-rata petani kopi di Sidikalang memiliki lahan bertani hingga berhektar-hektar. Lahan ibu ini bahkan sampai ke pinggir jurang dimana banyak hewan luwak hidup dan mengkonsumsi biji kopi.
Menurut ibu petani, ia membiarkan luak megkonsumsi biji kopi secara alami. Luak yang mengkonsumsi biji kopinya adalah luak liar yang hidup bebas di alam. Hal ini mengakibatkan produksi kopi luak dari ibu petani ini paling banyak 1 kg per bulannya. Ini menjelaskan mengapa harga kopi luak sangat mahal.
Pengetahuan pertama mengenai kopi yang saya dapat mengenai jenis kopi. Ada dua jenis kopi yang dibudidayakan petani Sidikalang yaitu Robusta dan Arabika. Menurut Lidya dari Petrasa, organisasi yang mendampingi petani-petani Sidikalang dalam mengembangkan pertanian organik, kopi dibawa oleh pemerintahan kolonial Belanda ke Nusantara pada akhir abad ke-16. Pemerintah kolonial kemudian mengaplikasikan cultuurstelsel dimana rakyat menanam jenis tanaman tertentu (yang diminati pasar internasional) sebagai ganti pembayaran pajak, kopi dan rempah-rempah termasuk di dalamnya. Penyebaran tanaman kopi dimulai dari Batavia hingga ke seluruh tanah Jawa hingga Sumatera.
Kopi Arabika adalah jenis kopi paling diminati pasar karena kualitasnya yang bagus, sementara kopi jenis Robusta adalah kopi kelas 2. Di daerah Sidikalang kopi Arabika sering disebut kopi ateng. Alasannya karena tumbuhannya tidak terlalu tinggi namun sangat produktif. Berbeda dengan jenis Robusta yang berpohon tinggi dan kokoh. Umur dari Arabika lebih pendek dari pada robusta, jika arabika bisa hidup 7-10 tahun maka robusta bisa bertahan 10-15 tahun. Namun popularitas dan kualitas arabika lebih unggul dari pada robusta.
Ada cerita lucu mengenai kopi arabika di zaman kolonial, menurut Lidya masyarakat di Sidikalang diberitahu bahwa kegunaan kopi adalah untuk bubuk mesiu. Entah benar atau tidak tapi itu membuat masyarakat tidak mengkonsumsi kopi arabika sama sekali. Masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi robusta bahkan hingga saat ini hal tersebut masih dipercayai. Namun setelah popularitas kopi menanjak dan masyarakat petani mulai menikmati hasil taninya sendiri, mereka lebih memilih menanam jenis arabika untuk kemudian hasilnya dijual untuk konsumsi dalam dan luar negeri.
Ada dua tipe pertanian di daerah Sidikalang, organik dan anorganik. Petani-petani organik mengembangbiakkan tanamannya tanpa bantuan pestisida. Pertanian organik sangat populer akhir-akhir ini karena terbukti menghasilkan biji kopi kualitas baik dan sesuai dengan standar internasional selain karena harga jualnya lebih mahal.
Kebun kopi yang saya kunjungi adalah kebun kopi milik seorang Ibu petani (saya lupa namanya) menanam kopi secara organik dan tumpang sari. Hujan menyambut kami ketika datang berkunjung. Sambil menunggu hujan reda Ibu petani bercerita mengenai suka dukanya bertani kopi organik. Bagian yang menyenangkan bagi si Ibu karena sering ada kunjungan dari pecinta kopi mancanegara ke kebun kopinya. Walau sempat mengeluhkan hasil panen kopinya belum berhasil membuatnya mapan, tapi ibu petani ini sangat bersemangat untuk meneruskan bertani kopi.
Akhirnya saya dan kawan-kawan diajak menuju kebun kopinya. As she said before, kebun kopi si ibu merupakan kebun tumpang sari. Di sela-sela tanaman kopi terdapat tanaman lain seperti pepaya dan rimbang. Bagian kebun kopi yang kami kunjungi hanyalah sebagian kecilnya saja. Rata-rata petani kopi di Sidikalang memiliki lahan bertani hingga berhektar-hektar. Lahan ibu ini bahkan sampai ke pinggir jurang dimana banyak hewan luwak hidup dan mengkonsumsi biji kopi.
Menurut ibu petani, ia membiarkan luak megkonsumsi biji kopi secara alami. Luak yang mengkonsumsi biji kopinya adalah luak liar yang hidup bebas di alam. Hal ini mengakibatkan produksi kopi luak dari ibu petani ini paling banyak 1 kg per bulannya. Ini menjelaskan mengapa harga kopi luak sangat mahal.
Perjalanan ini merupakan bagian dari program Sumatera Wonder Trips. Bagi pembaca ada yang tertarik untuk mengekspor wilayah produksi kopi legendaris di pulau Sumatera yaitu Sidikalang silakan add mereka di facebook di LINK ini dan follow them on twitter @SW_Trips . Sumatera Wonder Trips bukanlah trip biasa. Team dari SW Trips akan membawa kamu ke sisi lain dari pariwisata Sumatera. Perjalanan yang tidak hanya membangun dirimu pribadi tapi juga society di daerah yang kamu kunjungi.
Happy Traveling people ^^//.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar