Jumat, 20 Februari 2015

30 Days Without Smartphone Day 3


Yeup, memasuki hari ke-3 tanpa smartphone!

Saya makin hobi main tetris di hape sederhana saya. Haha.

Akhirnya saya menyelesaikan membaca sebuah novel yang sudah lama saya beli, namun teronggok cantik aja di atas meja untuk beberapa lama karena, yah.. nggak sempat membacanya. Judulnya adalah Casablanca. Novel ini adalah salah satu seri STPC, Setiap Tempat Punya Cerita, keluaran Gagas Media. STPC yang saya baca baru satu, karangan penulis favorit, London.  Rasa penasaran saya soal STPC sebenarnya dimulai dari Berbie Jagoan Neon (Belakangan ia menamai dirinya seperti itu), Kak Zai sesama mahasiswi di FIB USU cuman dia lebih senior, beda jurusan dan lebih rajin membaca daripada saya (Banget!). Selain itu adalah adik bungsu yang juga penasaran dengan STPC. Yah, mungkin karena kami fakir wisata, jarang jalan-jalan. Kalaupun jalan-jalan atau berwisata sifatnya lokal. Nggak pernah internasional. Baca STPC seolah-olah jalan-jalannnnnn. hehe.


Oke, kembali ke Casablanca.

Casablanca adalah kota terbesar di Maroko. Kota ini adalah denyut dari perekonomian dan pariwisata negara kerajaan yang berada di Afrika Utara ini. Tidak hanya itu, Casablanca adalah salah satu kota terbesar dan termodern di benua Afrika. Pengaruh Perancis dan Spanyol sangat kental di kota ini karena sempat menjadi protectorates Spanyol dan Perancis sebelum akhirnya merdeka pada tahun 1956. 

Nama kota ini, Casablanca, menjadi judul sekaligus latar dari novel karya Dahlian. Seingat saya, saya pernah membaca satu novel Dhalian lain sebelumnya, Promises, Promises. Dan itu sangat membosankan. Saya bahkan tidak ingat lagi apa ceritanya dan siapa saja karakternya, haghaghag. Tapi Casablanca mungkin akan meninggalkan kenangan buat saya, karena abis dibaca saya langsung menulis di blog soal bukunya.

Penilaian soal Casablanca? Not Bad lah, cukup menyenangkan membacanya. Dan butuh sehari memang untuk menyelesaikannya. 

Di awal kisah pembaca langsung disodori moment patah-hati-dan-mau-pergi-jauh-jauh-saja seorang Lazuardi Samudera yang datang ke Casablanca untuk melamar kekasihnya, eh malah kekasihnya udah disambar pria lain dulu. Di lobby hotel ia melihat seorang perempuan dan langsung berubah pikiran. Dalam kepala saya, What the....

Ini apa ya?

Tapi saya bersabar dan lanjut baca. walau agak bingung tapi akhirnya mulai terkuak juga kisahnya gimana. Casablanca menjadi latar eksotis mengenai perjalanan, pertemuan dan perpisahan. Laz, panggilan Lazuardi, seorang geologist yang patah hati mencari hiburan dengan mendekati gadis yang dijumpainya di lobby hotel. Seorang perempuan Indonesia bernama Vanda. Vanda datang ke Casablanca bukan karena terobsesi film roman klasik Casablanca. Ia melarikan diri dari rencana pernikahannya yang tinggal dua bulan lagi dengan pria bernama Rommy yang belum satu tahun dikenalnya. 

Awalnya Vanda cuek beibeh menghadapi keusilan Laz, tapi setelah dua kali Laz menyelamatkan nyawanya, Vanda mulai membuka diri. Seiring dengan komunikasi yang mulai membaik, baik Vanda dan Laz menemukan ketertarikan pada diri mereka masing-masing. Tapi Laz menyimpan rahasia. Rahasia yang akhirnya menghancurkan hati Vanda.

Novel ini tebalnya 300-an halaman, alur ceritanya cukup cepat. Tapi sanking cepatnya penulis melewatkan hal-hal penting. Terlalu fokus pada dua karakter utama membuat novel ini kurang greget. Nadia, perempuan Maroko yang bikin Laz patah hati sama sekali nggak dieksplore disini. Cuman numpang lewat aja. Itu pun hanya dua kalimat, "what are you doing here? I thought You've already gone back to Indonesia" . Dan juga karakter rommy hanya menyemarakkan dering ponsel Vanda dengan ringtone 'someone like you' by Adele. Sekali muncul juga cmn beberapa scene. Nggak menghebohkan. Dan agak aneh. Dahlian mendeskripsikan Rommy sebagai cowok baik tapi terlalu posesive kadang dengan selalu menelpon, mengawasi dan mencari-tahu keberadaan Vanda. Tapi giliran ketemu Vanda taringnya ciut. Udah gitu aja. Nggak greget. Padahal kalau dua karakter ini agak ditambahin porsi ceritanya, saya rasa Casablanca bisa menjadi cerita yang bagus dan movie material. Dahlian cukup berhasil menggambarkan gimana suasana Casablanca, membuat pembaca seolah juga bersama-sama dengan Vanda dan Laz menelusuri gang kecil di pasar tradisional maroko, memasuki bangunan Mesjid Hassan II dan bersantap di restoran yang menghadap langsung ke laut Mediterania.

Paling tidak penilaian saya soal bukunya Dahlian sudah jauh lebih baik  :D . Mudah-mudahan akan ada bukunya yang jauh lebih baik lagi .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar