Minggu, 06 November 2016

Melihat Perupa Bekerja



Menurut wikipedia Perupa adalah profesi dengan menggunakan seluruh potensi dan pengetahuan yang dimiliki di dalam seni rupa. Cakupan bidangnya adalah pematung, pelukis, ilustrator fotografer dan lain-lain. Dan saya sangat menyukai kata ini. Perupa. 

Mengapa melihat perupa bekerja? karena kemarin saya baru melihat bagaimana perupa-perupa berkumpul disebuah desa kecil yang tersembunyi di lereng gunung Marapi. Mereka datang dari mana-mana. Tidak hanya perupa lokal, ada yang juga berwajah eropa. Alasan mereka berkumpul pada hari itu adalah dalam rangka Festival Rupa Nagari Pariangan. 


Adalah abang dan kakak ipar saya yang memberikan kabar mengenai event ini kepada saya melalui wa. Ia baru saja sampai di kampung halamannya di Pariangan ketika melihat spanduk Festival Rupa Nagari Pariangan terbentang. Kontan dia langsung ingat saya dan adik bungsu saya, Andre. Kami sama-sama suka menggambar dan sama-sama menyukai hal-hal berbau seni dan pameran kebudayaan maupun sejarah. "Ajak Andre kesini kak, " ketiknya penuh semangat. Saya yang tengah berkutat dengan pengunjung yang cukup ramai di hari Sabtu tidak lantas menyanggupi karena sedang berdinas dengan satu rekan yang lain. "Nggak bisa kalau sekarang bun, " balas saya. "Pengunjung kami terlalu ramai dan saya hanya berdua dinas hari ini."

Namun pikiran saya terus saja tertuju pada festival ini. Sehingga malamnya saat berjumpa dengan kolega sesama pengajar dan pramuwisata saya menguarakan niat untuk mengunjungi Festival ini sebelum berangkat kerja. Dan ia mendukungnya.

Awalnya saya berniat mengunjungi Festival dengan adik perempuan saya, Merry. Tapi niat itu saya urungkan karena Andre si bungsu bangun lebih pagi. Akhirnya saya membawa Andre mengendarai sepeda motor menuju Nagari Tuo Pariangan, Negeri Tua asal usul leluhur orang Minangkabau. Berdasarkan informasi dari kakak Ipar, Festival ini dihelat di Jorong Guguak, dusun terpencil di Nagari Pariangan. Jalan aspal sempit dan berliku memandu kami menuju ketinggian. Setelah melewati Lurah Indak Baraia dan Sawah Satampang Baniah, kami melihat spanduk lainnya. Saya baru menyadari bahwa pengunjung dipandu dengan marawa (Bendera tradisional Minangkabau dengan warna kuning, merah dan hitam) hingga lokasi acara.

Sebelum memasuki lokasi acara kami bertemu dengan sebuah warung kawa daun yang mungil dan cantik. Berada di sisi kanan jalan dan mengahadap ke arah hamparan luas sawah, lembah dan barisan perbukitan cantik. Karena buru-buru mengingat harus kembali lagi bekerja saya memutuskan untuk tidak berhenti dan mengambil gambar. Keputusan yang belakangan saya sesali. Entah kapan bisa mampir kesini lagi.

Lokasi Festival adalah petak sawah kering milik penduduk,untuk menuju petak sawah ini kami harus melalui jalan perumahan penduduk yang cukup terjal namun masih cukup aman untuk pengendara pemula.




Saya tidak berharap banyak dengan apa yang menyambut kami disana. Sepi. Sederhana. Tidak ada umbul-umbul megah dan meriah. Yang ada adalah satu buah tenda besar dan beberapa tenda mungil didirikan di petak sawah. Beberapa perupa tampak asyik bekerja. Berdasarkan jadwal yang tertera, mereka melakukan aktivitas menggambar bersama sedari pukul 8.30 WIB tadi. Tidak ada meja panitia ataupun sambuta basa basi. Saya langsung membaur dan menyaksikan seorang perupa sedang menggarap 3 kanvas sekaligus di hadapannya. Andre langsung menunjuk perupa tersebut, "itu dosen seni murni," ujarnya dan menunjuk perupa lain yang tenagh berjongkok di tanah dan menyapukan warna langit pucat di kanvasnya yang belum lagi terisi setengah, "bapak itu juga dosen seni rupa." Andre sedang menempuh pendidikan Strata satunya di Institut Seni Indonesia Padang Panjang tahun pertama, tentu ia mengenal dosen-dosennya. "Ada masuk kelas bapak itu Andre rupanya?" tanyaku penasaran. Ia menggeleng dan membalas, "mereka dosen seni rupa murni, kami anak DKV."

Saya memperhatikan segala sesuatu disekeliling saya. Beberapa orang yang sepertinya partisipan Festival tengah sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang berbincang dengan petani yang telah bekerja pagi-pagi sekali, ada yang memotret, ada yang tengah terlibat diskusi serius di pematang sawah. Hanya dua perupa ini yang menyibukkan diri dengan kuas, cat dan kanvas. Sambil menikmati udara yang segar saya terus mengamati dua perupa ini bekerja.

Tidak lama kemudian saya tidak sengaja melihat perupa lain. Ia tersembunyi dibalik sedikit ilalang dan berada dibalik bangunan di belakang saya. Ada banyak anak-anak dan pemuda berkumpu dibelakanganya menikmati waktu melihat ia bekerja. Andre dan saya pun segera menghampirinya. Dengan banyaknya penonton yang mengelilinginya, sang perupa tetap larut dalam sapuan kuasnya.  Lukisannya telah hampirselasai. Seluruh permukaan kanvasnya telah dipenuhi oleh warna warnni alam. Warna langit yang pucat dan warna hutan yang rimbun. 


Perupa dan penontonnya




Setelah duduk sekian menit dan mengajak berbincang penonton yang lain,saya memberanikan diri untuk mengajak sang perupa berbincang. Perupa bernama Ferdian Ondira Asa ini rupanya tengah menempuh studi magisternya di Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Sedikit berbasa basi saya menanyakan kesannya tentang Nagari Pariangan. Ia menjawab dengan sambil meneruskan pekerjaannya, "bagus, indah. Apalagi cuaca cerah mendukung untuk melukis seperti ini." Saya tidak berani mengganggunya lama-lama. Sambil terus menatap kanvasnya yang perlahan terisi dengan warna kayu dan tanah saya pun berkenalan dan mengundangnya untuk berkunjung ke Istana Pagaruyung, tempat saya bekerja. 

Saya kembali melihat-lihat aktivitas perupa lainnya yang baru mulai melanjutkan lukisannya yang tertunda. Semua larut dalam suasana. Semua hanyut dalam alam yang sendu dan tanah pagi yang basah.

Ah, Pariangan. Tdak sia-sia kau dijuluki desa terindah, konon lagi di dunia. Mari bersolek, mari menata. Lihat, ada banyak pelancong yang akan singgah setelah ini.




1



2

3

Hal yang paling sukai adalah melihat anak-anak menggambar dengan gembira. Mereka diberi kertas, pinsil dan penghapus. Bebas memilih hendak menggambar apa dan bagaimana. Semoga kelak Festival ini tetap ada dari tahun ke tahun dan menjadi perhatian perupa seluruh Indonesia, dan mungkin dunia juga. Dari perbincangan dengan pemuda setempat saya mengetahui bahwa direncanakan ada ratusan perupa yang akan datang. Entah bagaimana akhirnya yang datang kurang dari seratus. Namun hal ini tidak mengurangi semarak acara ini. Gubernur telah membukanya secara resmi pada tanggal 4 November 2016 silam. Dan acara telah ditutup pada siang hari, 6 November 2016.



Pariangan memang indah sekali bukan.


2 komentar:

  1. Jadi kangen sama suasana Nagari Pariangan, pas kita kesana kan cuaca lagi kurang bagus. Suatu saat bakal kembali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus kesini lagi tur, Jorong Guguak ini masih jauh dari spot kita paling jauh di Pariangan, setelah Sawah Satampang Baniah masih harus terus berkendara lagi. Disini pas sekali untuk memandang lembah-lembah dan perbukitan.

      Hapus